Selasa, 16 Juli 2013

HIKMAH RAMADHAN

Ramadhan dan Kegagalan Hidup Sederhana

Secara gampang, inflasi bisa kita definisikan sebagai keaikan harga yang menyebabkan nilai mata uang menjadi turun. Sebagai ilustrasi, tahun 1993, hanya dengan uang Rp. 500,- kita bisa membeli semangkuk mie ayam di pinggiran jalan. Sekarang, setidaknya kita harus merogoh kocek paling sedikit Rp. 5.000,- untuk bisa membeli semangkuk mie ayam pinggiran jalan. Berarti uang Rp. 500,- sudah tidak memiliki arti lagi terhadap semangkuk mie ayam, karena sudah terjadi inflasi 1.000 persen, atau dengan mudahnya kita sebut kenaikan harga.
Kenaikan harga, satu fenomena yang kerap terjadi ketika menjelang dan memasuki bulan Ramadhan. Konsumsi masyarakat terbilang tinggi di bulan Ramadhan, dan supply yang ada cenderung bisa dilewati oleh demand. Tercatat menurut data BPS, inflasi Juni tahun 2012 tercatat 0,62 persen, apalagi ditambah kelangkaan produk pangan tahu dan tempe karena suplai kedelai terganggu. Ya..ya..ya.. begitulah secara teori ekonomi…. Tapi mari kita mencoba menyimak fenomena ini dari sudut pandang lain.
Secara logika, selama bulan Ramadhan, sebenarnya kita akan mengurangi jatah makan dalam sehari dari tiga kali menjadi hanya dua kali saja (sahur dan buka puasa). Artinya ketika jatah makan berkurang, maka porsi makan pun seharusnya, sekali lagi seharusnya juga berkurang. Jika demikian, maka konsumsi pangan pun seharusnya juga menyesuaikan dengan kondisi puasa. Namun, kenapa harga-harga mengalami kenaikan?
Semua itu kembali kepada tabiat manusia yang sulit untuk mencapai rasa puas dan selalu ingin lebih. Memang frekuensi makan selama bulan Ramadhan hanya dua kali dalam sehari, akan tetapi dalam dua kali tersebut, jumlah makanan yang terhidangkan menyamai tiga kali makan sehari baik secara porsi maupun harga. Selalu ada ungkapan : “Ingin menyajikan hidangan yang spesial di Bulan Ramadhan” hehehehe… tapi kok justru bukan efisiensi yang didapat malah over budget ya? Hehehehe…
Sebenarnya Islam telah mengajarkan kita melalui puasa (shaum) berbagai hal, termasuk mengontrol pola konsumsi makanan. Justru dengan adanya puasa manusia bisa memberikan kesempatan pada organ pencernaan untuk sejenak memiliki waktu istirahat setelah selama setahun terus menerus bekerja untuk memproses berbagai asupan nustrisi dengan berbagai macam kandungan yang ada hingga toxic (racun). Seharusnya, esensi puasa inilah yang juga berimplikasi pada pengendalian belanja kebutuhan pangan. Bahkan fenomena ingin menghadirkan sesuatu yang spesial pun juga ini banyak dikritisi, karena “yang spesial” itulah justru berpotensi mengganggu kesehatan tubuh.
Berbagai pendapat pakar pangan dan gizi dalam hal konsumsi bahan makanan selama bulan Ramadhan,menyatkan bahwa banyak masyarakat yang keliru dalam memilih pola konsumsi makanan. Misalnya saja ketika kita telah terpatri dengan kebiasaan untuk berbuka dengan “yang manis”. Sebenarnya yang manis itu bukanlah gula yang bersumber dari gula tebu (pasir), tapi sangat dianjurkan dari gula yang terkandung dalam buah-buahan seperti pepaya, melon, dan pisang.
Kandungan gula dalam gula pasir adalah sukrosa, artinya masih berupa senyawa kompleks yang harus dicerna lagi oleh tubuh untuk menjadi glukosa yang akan digunakan sebagai sumber energi tubuh. Nah, ketika kita berbicara mengenai “mengistirahatkan organ pencernaan, dimanakah aspek istirahat tersebut jika tubuh masih dibebani dengan proses pengolahan sukrosa?
Mengenai konsumsi buah kurma pun, terdapat kesalahan persepsi yang selama ini terjadi di masyarakat. Kurma yang baik adalah kurma yang langsung dipanen dari pohonnya, bukan kurma yang telah berbentuk manisan seperti yang sering kita temui di pasar-pasar, atau yang telah terkemas dalam box dan dijual di pusat-pusat perbelanjaan dan minimarket. Kurma dibuat manisan agar lebih tahan lama. Ini semua dilakukan untuk kepentingan ekspor dari negara produsen. Padahal, dalam kurma yang sudah menjadi manisan terdapat kandungan senyawa gula yang kompleks, yang menyebabkan organ pencernaan harus bekerja ekstra untuk mencernanya.
Hehehehe…. Ok, kita bedah lagi. Misalnya dalam urusan konsumsi nasi (beras). Untuk yang satu ini pun angka konsumsinya akan lebih tinggi saat bulan Ramadhan… wah-wah.. apalagi bagi yang mau diet… Harusnya kan bulan Ramadhan ini menjadi momentum yang tepat untuk mulai mengurangi konsumsi nasi. Nah… mengenai nasi ini juga, sebenarnya banyak pakar gizi yang menganjurkan untuk mengonsumsi nasi (beras) merah dibandingkan beras putih.
Nasi dari beras merah memiliki kandungan serat juga membuat kenyang lebih lama, sehingga nasi dengan kulit ari yang masih utuh seperti nasi merah mengenyangkan lebih lama dibandingkan nasi putih yg sdh tidak mengandung kulit ari. Hal inilah yg menyebabkan orang menganggap nasi merah lebih mengenyangkan karena biasanya nasi merah masih dipertahankan kulit arinya sehingga seratnya relatif lebih banyak dibandingkan nasi putih yang telah digiling dan hilang kulit arinya. Hanya saja, secara harga, beras merah lebih mahal dibandingkan beras putih.
Kalaupun pada akhirnya kita harus mengonsumsi nasi putih, maka sesuaikan porsinya, kalau bisa jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang biasa kita konsumsi di luar Ramadhan.
Wajar ya kalau penyakit diabetes dan gula banyak menimpa masyarakat kita… hehehehe… wong pola konsumsi karbohidratnya tidak dijaga. Kan ada kejadian ya, kenapa di bulan Ramadhan kok banyak orang yang mengalami kenaikan kadar gula ya, hehehehe… ya itu karena dia tidak bisa mengontrol dan memilah bahan makanan apa saja yang layak untuk dikonsumsi.
Jadi, sebenarnya cara kita menyikapi bulan Ramadhan lah yang menyebabkan kesalah-kaprahan terjadi. Bagus memang menganggap bulan Ramadhan adalah bulan yang special, akan tetapi “special” di sini harusnya ditujukan kepada upaya peningkatan kualitas ibadah dan pengumpulan pahala sebanyak-banyaknya. Kalau kemudian inflasi meningkat di bulan ini, lalu semakin banyak orang yang mengalami gangguan diabetes dan kadar gula darah yang tinggi, sesungguhnya ini mencerminkan bahwa terjadi kegagalan dalam memahami esensi puasa itu sendiri.
Puasa seharusnya menjadi momen kita untuk mengontrol pola makan, bukannya banyak jajan. Boleh saja mengonsumsi makanan jajanan, tapi selektiflah dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Puasa juga seharusnya menjadi momen yang mengajarkan kita untuk hidup lebih sederhana sebagai implikasi dari pengendalian diri dari konsumsi berlebih berbagai hal, khususnya makanan.
Nah.. jika demikian, wajar kan kalau Indonesia sekarang menjadi net importer beras?! Wong, konsumsi beras masyarakat-nya nggragas… hehehehehe… Jika esensi puasa bisa diterapkan dalam kehidupan pasca Ramadhan, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan bisa melepaskan diri dari ketergantungan beras impor untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Gampang kok untuk melihat kualitas self control bangsa ini. Tengok saja angka penderita diabetes dan pengidap gangguan kadar gula darah yang setiap tahun bertambah jumlahnya. Ironisnya, penyakit ini tidak lagi menimpa orang dewasa, tapi sudah berjangkit di kalangan anak-anak. Sebagai informasi, menurut data yang dirilis oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia pada Mei 2012 lalu, jumlah penderita diabetes anak di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat 500 persen atau lima kali lipat.
Tingginya angka penderita diabetes menunjukkan gagalnya bangsa ini untuk mengontrol pola makan. Meningkatkan penderita diabetes pada anak juga menunjukkan kegagalan orang tua dalam mendidik anaknya untuk mengontrol pola makan. Sebenarnya jauh-jauh hari Allah SWT melalui Al-Qur’an telah mengingatkan manusia agar jangan berlebih-lebihan. Ya.. satu kata kunci yaitu “berlebihan”. Segala sesuatu yang di luar batas, maka selalu membawa dampak negative, termasuk dalam konsumsi makanan.
Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki keturunan diabetes? Kesampingkan aspek keturunan sebagai penyebab berjangkitnya diabetes. Selama kita bisa menjaga pola makan terutama konsumsi karbohidrat, maka peluang terkena diabetes bisa diminimalisasi secara signifikan. Jadi… kembali lagi pada self control alias pengendalian diri bukan? Hehehehe… Dan kata siapa pla hidup sehat harus mahal? Sebagai contoh, ketika para pakar banyak menyarankan untuk memperbanyak konsumsi buah-buahan. Mereka banyak merkomendasikan buah-buahan yang biasa kita dapatkan di pasar dengan harga relative murah seperti papaya, pisang, mangga, dan melon.
Terakhir, sekaligus menutup tulisan ini, seharusnya ketika kita mengacu pada logika, tingkat konsumsi selama bulan Ramadhan seharusnya menurun jika dibandingkan bulan-bulan lainnya karena adanya ibadah puasa. Bukan hanya konsumsi makanan, akan tetapi konsumsi barang-barang lainnya. Esensi puasa seharusnya bisa meredam keinginan manusia untuk berbelanja secara berlebihan yang menyebabkan demand mengalahkan supply. Hidup sederhana, dan sesuaikan dengan kemampuan financial. Lebaran, sebagai penutup dari puasa kita bukan baju baru atau kendaraan baru yang penting, tapi hati dan kualitas diri yang baru. Saya yakin kita semua mengetahui hal ini sejak kecil, akan tetapi dalam implementasinya tidak semudah yang dikira hehehehe…
Tahun ini bangsa Indonesia kembali gagal untuk menjadi bangsa yang sederhana dengan memanfaatkan momentum Ramadhan 1433 H. Mari kita renungkan bersama berbagai tindakan konsumsi berlebihan yang biasa dilaukan setiap tahunnya menjalan dan memasuki bulan Ramadhan. Mari kita tempatkan Ramadhan sebagai bulan yang tidak lagi membuat ibu-ibu pusing dengan belanjaan dan harga yang naik, bulan yang membuat para suami tidak perlu lagi pusing memikirkan keuangan karena memiliki anak istri yang tidak konsumtif, bulan yang menjadikan banyak keluarga semakin rukun dan harmonis karena bisa bersantap sahur dan berbuka puasa bersama, bulan di mana kita bisa memberikan kelebihan rezeki untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan, dan satu lagi, bulan untuk memerangi diabetes hehehehe…
Sumber :
prepared : arif rochman (arifkua@gmail.com)


0 komentar:

Posting Komentar

 

galery

waktu sholat

Sociality

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail