Ramadhan dan Kegagalan Hidup Sederhana
Secara gampang, inflasi bisa kita definisikan
sebagai keaikan harga yang menyebabkan nilai mata uang menjadi turun. Sebagai
ilustrasi, tahun 1993, hanya dengan uang Rp. 500,- kita bisa membeli semangkuk
mie ayam di pinggiran jalan. Sekarang, setidaknya kita harus merogoh kocek
paling sedikit Rp. 5.000,- untuk bisa membeli semangkuk mie ayam pinggiran
jalan. Berarti uang Rp. 500,- sudah tidak memiliki arti lagi terhadap semangkuk
mie ayam, karena sudah terjadi inflasi 1.000 persen, atau dengan mudahnya kita
sebut kenaikan harga.
Kenaikan harga, satu fenomena yang kerap terjadi
ketika menjelang dan memasuki bulan Ramadhan. Konsumsi masyarakat terbilang
tinggi di bulan Ramadhan, dan supply yang
ada cenderung bisa dilewati oleh demand.
Tercatat menurut data BPS, inflasi Juni tahun 2012 tercatat 0,62 persen,
apalagi ditambah kelangkaan produk pangan tahu dan tempe karena suplai kedelai
terganggu. Ya..ya..ya.. begitulah secara teori ekonomi…. Tapi mari kita mencoba
menyimak fenomena ini dari sudut pandang lain.
Secara logika, selama bulan Ramadhan, sebenarnya
kita akan mengurangi jatah makan dalam sehari dari tiga kali menjadi hanya dua
kali saja (sahur dan buka puasa). Artinya ketika jatah makan berkurang, maka
porsi makan pun seharusnya, sekali lagi seharusnya juga berkurang. Jika
demikian, maka konsumsi pangan pun seharusnya juga menyesuaikan dengan kondisi
puasa. Namun, kenapa harga-harga mengalami kenaikan?
Semua itu kembali kepada tabiat manusia yang
sulit untuk mencapai rasa puas dan selalu ingin lebih. Memang frekuensi makan
selama bulan Ramadhan hanya dua kali dalam sehari, akan tetapi dalam dua kali
tersebut, jumlah makanan yang terhidangkan menyamai tiga kali makan sehari baik
secara porsi maupun harga. Selalu ada ungkapan : “Ingin menyajikan hidangan
yang spesial di Bulan Ramadhan” hehehehe… tapi kok justru
bukan efisiensi yang didapat malah over budget ya?
Hehehehe…
Sebenarnya Islam telah mengajarkan kita melalui
puasa (shaum) berbagai hal, termasuk mengontrol pola
konsumsi makanan. Justru dengan adanya puasa manusia bisa memberikan kesempatan
pada organ pencernaan untuk sejenak memiliki waktu istirahat setelah selama
setahun terus menerus bekerja untuk memproses berbagai asupan nustrisi dengan
berbagai macam kandungan yang ada hingga toxic
(racun). Seharusnya, esensi puasa inilah yang juga berimplikasi pada
pengendalian belanja kebutuhan pangan. Bahkan fenomena ingin menghadirkan
sesuatu yang spesial pun juga ini banyak dikritisi, karena “yang spesial”
itulah justru berpotensi mengganggu kesehatan tubuh.
Berbagai pendapat pakar pangan dan gizi dalam hal
konsumsi bahan makanan selama bulan Ramadhan,menyatkan bahwa banyak masyarakat
yang keliru dalam memilih pola konsumsi makanan. Misalnya saja ketika kita
telah terpatri dengan kebiasaan untuk berbuka dengan “yang manis”. Sebenarnya
yang manis itu bukanlah gula yang bersumber dari gula tebu (pasir), tapi sangat
dianjurkan dari gula yang terkandung dalam buah-buahan seperti pepaya, melon,
dan pisang.
Kandungan gula dalam gula pasir adalah sukrosa,
artinya masih berupa senyawa kompleks yang harus dicerna lagi oleh tubuh untuk
menjadi glukosa yang akan digunakan sebagai sumber energi tubuh. Nah,
ketika kita berbicara mengenai “mengistirahatkan organ pencernaan, dimanakah
aspek istirahat tersebut jika tubuh masih dibebani dengan proses pengolahan
sukrosa?
Mengenai konsumsi buah kurma pun, terdapat
kesalahan persepsi yang selama ini terjadi di masyarakat. Kurma yang baik
adalah kurma yang langsung dipanen dari pohonnya, bukan kurma yang telah
berbentuk manisan seperti yang sering kita temui di pasar-pasar, atau yang
telah terkemas dalam box dan dijual di pusat-pusat
perbelanjaan dan minimarket. Kurma dibuat manisan agar lebih tahan lama. Ini
semua dilakukan untuk kepentingan ekspor dari negara produsen. Padahal, dalam
kurma yang sudah menjadi manisan terdapat kandungan senyawa gula yang kompleks,
yang menyebabkan organ pencernaan harus bekerja ekstra untuk mencernanya.
Hehehehe…. Ok, kita bedah lagi. Misalnya dalam
urusan konsumsi nasi (beras). Untuk yang satu ini pun angka konsumsinya akan
lebih tinggi saat bulan Ramadhan… wah-wah.. apalagi bagi yang mau diet…
Harusnya kan bulan Ramadhan ini menjadi momentum yang tepat untuk mulai
mengurangi konsumsi nasi. Nah… mengenai nasi ini juga, sebenarnya banyak pakar
gizi yang menganjurkan untuk mengonsumsi nasi (beras) merah dibandingkan beras
putih.
Nasi dari beras merah memiliki kandungan serat
juga membuat kenyang lebih lama, sehingga nasi dengan kulit ari yang masih utuh
seperti nasi merah mengenyangkan lebih lama dibandingkan nasi putih yg sdh
tidak mengandung kulit ari. Hal inilah yg menyebabkan orang menganggap nasi
merah lebih mengenyangkan karena biasanya nasi merah masih dipertahankan kulit
arinya sehingga seratnya relatif lebih banyak dibandingkan nasi putih yang
telah digiling dan hilang kulit arinya. Hanya saja, secara harga, beras merah
lebih mahal dibandingkan beras putih.
Kalaupun pada akhirnya kita harus mengonsumsi
nasi putih, maka sesuaikan porsinya, kalau bisa jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan yang biasa kita konsumsi di luar Ramadhan.
Wajar ya kalau penyakit diabetes dan
gula banyak menimpa masyarakat kita… hehehehe… wong pola konsumsi
karbohidratnya tidak dijaga. Kan ada kejadian ya, kenapa di bulan Ramadhan kok
banyak orang yang mengalami kenaikan kadar gula ya, hehehehe… ya itu karena dia
tidak bisa mengontrol dan memilah bahan makanan apa saja yang layak untuk
dikonsumsi.
Jadi, sebenarnya cara kita menyikapi bulan
Ramadhan lah yang menyebabkan kesalah-kaprahan terjadi. Bagus memang menganggap
bulan Ramadhan adalah bulan yang special, akan tetapi “special” di sini
harusnya ditujukan kepada upaya peningkatan kualitas ibadah dan pengumpulan
pahala sebanyak-banyaknya. Kalau kemudian inflasi meningkat di bulan ini, lalu
semakin banyak orang yang mengalami gangguan diabetes dan kadar gula darah yang
tinggi, sesungguhnya ini mencerminkan bahwa terjadi kegagalan dalam memahami
esensi puasa itu sendiri.
Puasa seharusnya menjadi momen kita untuk mengontrol
pola makan, bukannya banyak jajan. Boleh saja mengonsumsi makanan jajanan, tapi
selektiflah dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Puasa juga seharusnya
menjadi momen yang mengajarkan kita untuk hidup lebih sederhana sebagai
implikasi dari pengendalian diri dari konsumsi berlebih berbagai hal, khususnya
makanan.
Nah.. jika demikian, wajar kan kalau Indonesia
sekarang menjadi net importer beras?! Wong,
konsumsi beras masyarakat-nya nggragas… hehehehehe… Jika
esensi puasa bisa diterapkan dalam kehidupan pasca Ramadhan, maka bukan tidak
mungkin dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan bisa melepaskan diri dari
ketergantungan beras impor untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Gampang
kok untuk melihat kualitas self control bangsa ini. Tengok
saja angka penderita diabetes dan pengidap gangguan kadar gula darah yang
setiap tahun bertambah jumlahnya. Ironisnya, penyakit ini tidak lagi menimpa
orang dewasa, tapi sudah berjangkit di kalangan anak-anak. Sebagai informasi,
menurut data yang dirilis oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia pada Mei 2012 lalu,
jumlah penderita diabetes anak di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat
500 persen atau lima kali lipat.
Tingginya angka penderita diabetes menunjukkan
gagalnya bangsa ini untuk mengontrol pola makan. Meningkatkan penderita
diabetes pada anak juga menunjukkan kegagalan orang tua dalam mendidik anaknya
untuk mengontrol pola makan. Sebenarnya jauh-jauh hari Allah SWT melalui
Al-Qur’an telah mengingatkan manusia agar jangan berlebih-lebihan. Ya.. satu
kata kunci yaitu “berlebihan”. Segala sesuatu yang di luar batas, maka selalu
membawa dampak negative, termasuk dalam konsumsi makanan.
Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki
keturunan diabetes? Kesampingkan aspek keturunan sebagai penyebab berjangkitnya
diabetes. Selama kita bisa menjaga pola makan terutama konsumsi karbohidrat,
maka peluang terkena diabetes bisa diminimalisasi secara signifikan. Jadi…
kembali lagi pada self control alias
pengendalian diri bukan? Hehehehe… Dan kata siapa pla hidup sehat harus mahal?
Sebagai contoh, ketika para pakar banyak menyarankan untuk memperbanyak
konsumsi buah-buahan. Mereka banyak merkomendasikan buah-buahan yang biasa kita
dapatkan di pasar dengan harga relative murah seperti papaya, pisang, mangga,
dan melon.
Terakhir, sekaligus menutup tulisan ini,
seharusnya ketika kita mengacu pada logika, tingkat konsumsi selama bulan
Ramadhan seharusnya menurun jika dibandingkan bulan-bulan lainnya karena adanya
ibadah puasa. Bukan hanya konsumsi makanan, akan tetapi konsumsi barang-barang
lainnya. Esensi puasa seharusnya bisa meredam keinginan manusia untuk
berbelanja secara berlebihan yang menyebabkan demand
mengalahkan supply. Hidup sederhana, dan
sesuaikan dengan kemampuan financial. Lebaran, sebagai penutup dari puasa kita
bukan baju baru atau kendaraan baru yang penting, tapi hati dan kualitas diri
yang baru. Saya yakin kita semua mengetahui hal ini sejak kecil, akan tetapi
dalam implementasinya tidak semudah yang dikira hehehehe…
Tahun ini bangsa Indonesia kembali gagal untuk
menjadi bangsa yang sederhana dengan memanfaatkan momentum Ramadhan 1433 H.
Mari kita renungkan bersama berbagai tindakan konsumsi berlebihan yang biasa
dilaukan setiap tahunnya menjalan dan memasuki bulan Ramadhan. Mari kita
tempatkan Ramadhan sebagai bulan yang tidak lagi membuat ibu-ibu pusing dengan
belanjaan dan harga yang naik, bulan yang membuat para suami tidak perlu lagi
pusing memikirkan keuangan karena memiliki anak istri yang tidak konsumtif,
bulan yang menjadikan banyak keluarga semakin rukun dan harmonis karena bisa
bersantap sahur dan berbuka puasa bersama, bulan di mana kita bisa memberikan
kelebihan rezeki untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan, dan satu lagi,
bulan untuk memerangi diabetes hehehehe…
Sumber :
prepared : arif rochman (arifkua@gmail.com)
0 komentar:
Posting Komentar