PENDAHULUAN
Posted
by Achmad Syakiri
A.
PENGERTIAN PERKAWINAN
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual
tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian)
yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang
pria dengan seorang wanita. (hanafi)
1. Aqdu al nikah dibaca dihubungkan dengan Q. IV: 21
aqdunnikah
sebutan Al quran Q II: 232, 235, 237 yang lazim dalam
bahasa indonesia sehari-hari disebut Akad Nikah dari kata-kata Aqad Nikah.
Nikah artinya perkawinan
sedangkan aqad artinya perjanjian.
Jadi Akad Nikah berarti perjanjian
suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan
seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal (abadi).
Suci berarti di sini mempunyai
unsur agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan
ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
antara seorang laki-iaki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang
kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.
2. Sedangkan menurut Imam
Syafi'i, pengertian nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal
hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi (mathaporic)
nikah itu artinya hubungan seksual.
3. Menurut Prof. Mahmud Yunus dalam
bukunya, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, CV Al Hidayah 1964, halaman 1. Nikah
itu artinya hubungan seksual (setubuh) beliau mendasarkan pendapatnya itu
kepada Hadis Rasul yang berbunyi: Dikutuki Allah yang menikah (setubuh) dengan
tangannya (onani). (Rawahul Abu Daud).
4. Prof.
Dr. Hazairin, S.H. Dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Nasional mengatakan inti
perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau itu tidak ada nikah
(perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bila
tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang
waktu menunggu (iddah) untuk menikahi lagi bekas istri itu dengan
laki-iaki lain.
5. Menurut Prof Ibrahim Hosen, Nikah menurut arti
asli dapat juga berarti aqad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara
pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain ialah bersetubuh (syafi'i).
Dialah yang menciptakan kamu dari satu
zat dan daripadanya dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang (Q. VII:
189) Al a’'raaf (tempat tertinggi). Jadi menurut Al Quran, Perkawinan adalah
menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-Anak serta orang tua
agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan
yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).
6. Pengertian perkawinan menurut kompilasi Hukum Islam
adalah
Pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Jadi prinsipnya pergaulan antara suami istri itu hendaklah:
1. Pergaulan yang makruf (pergaulan yang
baik) yaitu saling menjaga rahasia masing- masing.
2. Pergaulan yang sakinah
(pergaulan yang aman dan tenteram).
3. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling
mencintai terutama di masa muda (remaja).
4. Pergaulan yang disertai rahmah (rasa
santun-menyantuni terutama setelah masa tua), Quran IV: 19, Q. IV: 34, dan Quran XXX:
21.
DASAR HUKUM PERKAWINAN
1. Dasar Hukum Perkawinan Yang Pertama
Kita lihat antara
lain ai quran surah iv ayat 1, q. Iv: 3, q. Iv: 127, q. Xxiv: 32, q. Ii: 235
dan q. Ii: 237 dan q. Xxx: 21 dan beberapa hadis rasul.
Quran surah iv: j (surah al nisaa baca an nisaa).
1.
Hai sekalian manusia bertakwalah (berbaktilah) kepada Tuhan kamu
yang Maha Esa dan yang menjadikan kamu
dari satu zat (adam).
2.
Dan dari zat (adam) itu pula dijadikan-nya pasangannya (siti hawa).
3.
Dan dari keduanya (adam
dan hawa) allah menciptakan (terlahirlah) bathsya (bath terpancar) laki-iaki dan wanita yang banyak.
4.
Dan bertakwalah (berbaktilah) kamu kepada allah yang dengan
mempergunakan nama-nya kamu saling berhubungan ( dalam perkawinan).
5.
Dan Perhatikanlah Oleh Kamu Arhaam.
6.
Sesungguhnya
Allah Menjaga Kamu.
RUKUN DAN
SYARAT
PERKAWINAN YANG SAH
MENURUT HUKUM ISLAM
A. PENDAHULUAN
Perkawinan yang sah harus
memenuhi rukun dan syarat. Perkawinan yang sah harus memperhatikan larangan-larangan
perkawinan sebagai tersebut di bawah ini.
B. BEBERAPA ASAS HUKUM PERKAWINAN
Dalam membicarakan
larangan perkawinan menurut hukum islam, ada 3 (tiga) asas yang harus
diperhatikan yaitu: 1) asas absolut abstrak, 2) asas selektivitas dan asas
legalitas. Asas absolut abstrak, ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di
mana jodoh atau pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan
oleh Allah atas permintaan manusia yang bersangkutan, Asas selektivitas adalah
suatu asas dalam suatu perkawinan di mana seseorang yang hendak menikah itu harus
menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa dia
dilarangnya. Asas legalitas ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya
dicatatkan.
C. ADA BERMACAM-MACAM LARANGAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM
ISLAM (ASAS SELEKTIVITAS)
Asas selektivitas
dirumuskan dalam beberapa larangan perkawinan, dengan siapa dia boleh melakukan
perkawinan dan dengan siapa dia dilarang (tidak boleh menikah).
Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:
1.
Larangan perkawinan karena berlainan agama;
2.
Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau
dekat;
3.
Larangan perkawinan karena hubungan susuan;
4.
Larangan perkawinan karena hubungan semenda;
5.
Larangan
perkawinan poliandri;
6.
Larangan perkawinan terhadap wanita yang di Li' an;
7.
Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina;
8.
Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas
istri yang ditalak tiga);
9. Larangan kawin bagi pria
yang telah beristri empat, dijabarkan satu per satu sebagai berikut:
Ad.1. Larangan
Perkawinan Karena Berlainan Agama
Dasar hukumnya Al quran surah II ayat 221, yang berbunyi. Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik
hatimu. (Al Baqarah ayat 221)
Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka
beriman sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-perintahnya kepada
manusia, supaya mereka mengambil pelajaran.
Dalam kaitan ini baik
ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.
a.
Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi Muhammad SAW,
agar dia dapat diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan
amat terpandang. Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya.
Sesudah Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah Q.II: 221. Yang melarang
laki-iaki muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim
menikahi laki-laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al
wahidi).
B. Abdullah bin Rawahaih
mempunyai seorang hamba sahaya (budak) yang amat hitam. Pada waktu itu ia marah
kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu
menceritakan kepada Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu
dengan menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela dan
mengejek tindakan Abdullah bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau melaksanakannya.
Maka turunlah q. Ii: 221 sebagai pembenaran tindakannya itu:
"Bahwa seorang hamba sahaya (budak) yang muslimah lebih baik daripada
wanita musyrik."
Rawahul Al Wahidi dari Assu'udi dan berasal dari Abi Maliki, bersumber dari
Ibnu Abbas.
Kedua kasus atau peristiwa
tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul (asbabun nuzul) dari Q.II: 221. Bahwa menikahi
wanita budak (hamba sahaya atau pembantu) yang mukmin lebih baik daripada
menikahi wanita nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga
fatwa MUI DKI Jaya tanggal 30 september 1986, tentang larangan perkawinan
antaragama).
Ad.2.Larangan
Perkawinan Karena Hubungan Darah Yang Terlampau Dekat
Dan sudut Ilmu
Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan antara keluarga yang berhubungan
darah yang terlalu dekat itu akan mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat
dan sering cacat bahkan
kadang-kadang
inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali Jalan Menuju Kesehatan Jilid
I, halaman 221).
A. Q. IV: 23a.
Dilarang karnu (laki-laki)
rnenikahi ibu kandung karnu.
B. Q .IV: 23b.
Dilarang kamu (laki-laki)
rnenikahi anak perernpuan kandungmu.
C. Q. IV: 23c.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandungmu yang perempuan.
D. Q. IV: 23d.
Dilarang karnu rnenikahi anak
perernpuan dari saudara laki-iaki kandungmu.
E. Q. IV: 23e.
Dilarang kamu menikahi anak
perernpuan dari saudara perempuan kandungmu.
F. Q. IV: 23f.
Dilarang karnu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ibu
kamu.
G. Q. IV: 23g.
Dilarang kamu (laki-laki) menikahi saudara kandung perempuan dari ayah
karnu.
Larangan di sini bukan berarti
larangan menikahi dalam arti formil saja (melalui prosedur akad nikah dengan
ijab qabul), tetapi juga termasuk larangan menikahi
secara materiil yaitu melakukan hubungan seksual.
Bilamana kita hubungkan dengan
pengertian nikah menurut versi hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli
ialah hubungan seksual, sedangkan menurut syafi' i nikah itu menurut pengertian
majazi (metheportic) adalah hubungan seksual antara seorang wan ita dengan
seorang pria.
Justru karena itu dalam
pergaulan sehari-hari an tara ayah dengan anak perempuan yang sudah dewasa (baligh), demikian juga antara seorang anak laki-iaki
dewasa dengan ibunya haruslah dijaga sedemikian rupa agar jangan sampai
terlanggar norma hukum tuhan yang maha esa tersebut (lihat
pos kota tanggal 26 desember 1979 dan tanggal 10 desember 1979).
Ad.3. Larangan Perkawinan
Karena Hubungan Sesusuan
Masih dalam pembicaraan q. Iv: 23 terdapat aturan tentang larangan perkawinan karena ada
hubungan susuan.
Maksudnya ialah
bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang tidak mempunyai hubungan darah,
tetapi pemah menyusu (menetek) dengan ibu (wanita) yang sarna dianggap
mempunyai hubungan sesusuan, oleh karenanya timbul larangan menikah an tara
keduanya karena alasan sesusu (sesusuan). Tentulah akan timbul persoalan lain
yaitu beberapa kalikah menyusu itu atau berapa lama menyusu itu yang
menimbulkan larangan
menikah itu.
Ada dua
pendapat tentang masalah tersebut.
Pendapat pertama
mengatakan bahwa walaupun menyusu (menetek) itu satu kali saja tetapi sampai
kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan antara anak laki-iaki yang
menyusu itu bahkan juga berlaku larangan bagi anak laki-iaki itu kelak dengan
anak dari ibu (wanita) tempat dia menyusu itu pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta pengikut-pengikut mazhab hanafiah
tersebut seperti juga, hambali dan imam malik.
Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal 5
(lima) kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, dengan tidak dipersoalkan
kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali itu, atau
berjarak dua atau tiga hari atau seminggu. Maka barulah timbul larangan
perkawinannya. Pendapat ini adalah pendapat imam syafi'i dengan para
penganutnya.
Di samping itu berdasarkan penyelidikan dari sudut
medis (ilmu kesehatan). Maka ternyata air susu ibu itu barn berproses menjadi
darah dan daging untuk membentuk fisik bayi apabila~ menyusui itu minimal 5
(lima) kali sampai kenyang (iihat dr. Ahmadi ramali: jalan
menuju kesehatan).
Berhubung dengan itu ada tendensi (iebih banyak)
bahwa pendapat imam syafi'i itu didukung oleh para faqih (para sarjana islam)
termasuk penulis.
H. Q. IV: 23h.
Dilarang kamu
menikahi perempuan di mana kamu pernah menyusui.
I. Q. IV: 23i.
Dilarang kamu menikahi perempuan sesama susuan
yaitu anall dari perempuan yang kamu pernah menyusu
pada ibunya.I
Ad.4.a. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan
perkawinan yang terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-laki).
Laki-iaki (kamu) telah menikahi kakaknya yang
perempuan atau adiknya yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara
suami dari kakakladik perempuan itu dengan kakaknya perempuan itu.
lazimnya di indonesia disebut kakak adik
ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak
tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri.
1. Q. Iv: 23j.
Dilarang kamu
menikahi ibu istri kamu (mertua kamu yang perempuan).
K. Q. Iv:
23k.
Dilarang kamu menikahi anak tiri kamu yang
perempuan yang ada dalam pemeliharaan kamu dari istri yang telah kamu campuri,
dan apabila istri kamu itu belum kamu campuri maka tidak mengapa kamu menikahi
anak tiri itu.
L. Q. Iv:
231.
Dilarang kamu menikahi istri anak shulbi kamu
(menantu kamu yang perempuan).
M.Q. IV:
23m.
Jangan kamu menikahi saudara istri kamu yang
perempuan, kecuali apabila kamu ceraikan yang lain (dilarang kamu menikahi dua
orang perempuan bersaudara sekaligus).
Q. IV: 24.
Dihalalkan
bagi kamu selain dari yang secara limitatif ditegaskan demikian (lihat juga q. Xxxiii:
24, 35 dan 37 peristiwa zaid bin haritsah dan zainab binti jahsyin.
Ad.4.b
Larangan perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih
bersifat khusus
larangan
perkawinan masih dalam rangka hubungan semenda, tetapi lebih bersifat khusus
atau istimewa, karena ayat Quran mengenal larangan ini diwahyukan Tuhan khusus
untuk melarang perkawinan yang demikian ini yaitu, Q.IV: 22.
"jangan kamu nikahi perempuan yang telah
dinikahi oleh
Bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji."
larangan
itu tentulah bersifat haram apabila dilanggar dengan ketegasan kata-kata atau
petunjuk Tuhan, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang jahat dan keji. Boleh ditafsirkan dengan tambahan
kata-kata jahat dan keji itu berarti sangat terkutuk sekati, sangat dibenci dan
dimarahi illahi seorang laki-iaki menikahi wanita yang telah dinikahi oleh
bapaknya (ibu tirinya). Menurut penulis larangan ini ditujukan bukan saja
perempuan yang masih dalam hubungan perkawinan dengan bapaknya maupun yang
telah dicerai baik cerai hidup maupun mati.
Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa Abu qais bin Ai Aslat seorang Anshar yang saleh meninggal
dunia. Anaknya melamar bekas istri abu qais itu (menikahi bekas ibu tiri).
Berkata wanita itu, "saya menganggap
engkau sebagai anakku, dan engkau termasuk dari kaumku." maka menghadaplah
pemuda itu kepada rasul (nabi muhammad saw.) Bersabda rasul, "pulanglah engkau
ke romanmu." Setelah Rasullallah berdoa turunlah. Q. IV: 22 tersebut.
Rawahul
ibnu hatim, ai taryabi dan ath thabrani bersumber dari zaid bin tsabit.
Riwayat lain dikemukakan bahwa di zaman jahiliyah anak laki-iaki yang
ditinggal mati oleh bapaknya berhak atas diri ibu tirinya, apakah akan
menikahinya sendiri atau menikahkan dengan orang lain.
Ketika abu qais bin al aslat meninggal muhsin bin
qais (anak abu qais) menikahi bekas istri bapaknya itu dan tidak memberikan
suatu warisan apa pun kepada wan ita itu.
Mengadulah wanita itu kepada rasululjah, mengenai haknya, setelah nabi
muhammad saw. Berdoa turunlah q. Iv: 22 itu. Rawahul ibnu saad bersumber dari Muhammad
bin ka'ab ai qarthi. 5)
Ad.6. Larangan perkawinan poliandri Q. IV: 24
Jangan
kamu (laki-laki) menikahi seorang wanita yang sedang bersuami.
Dari sudut wan ita ketentuan
itu adalah berupa larangan melakukan poliandri (seorang wanita yang telah
bersuami menikah lagi dengan laki-iaki lain).
dalam
suatu hadis rasul diriwayatkan oleh muslim, Abu Daud, Al Tirmidzi dan Al Nasai
berasal dari Abi Said Al Chudri.
Dalam peperangan anthos dalam
tahun ke-2 pada waktu itu kaum muslimin mendapat kemenangan dan berhasil memperoleh
tawanan beberapa wanita ahlil kitab yang masih bersuami. Pada waktu
wanita-wanita itu mau dinikahi oleh kaum muslimin mereka menolak dengan alasan
masih bersuami.
Rasulullah saw. Menjawabnya berdasarkan Q.IV:
24 ini.
Demikian juga dalam peperangan hunain tahun ke-3 h
juga para tawanan wanita yang masih bersuami akan
dinikahi oleh kaum muslimin
yang berhak atas tawanan itu mereka tidak mau. Rawahul ai thabrani bersumber
dari ibnu abbas.?)
Ad. 6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang
di ii' an
li'an
diatur dalam Al Quran Surah XXIV ayat 4 dan 6 atau Surah An Nuur. (cahaya).
Akibat
istri yang di ii' an maka mereka bercerai untuk selama lamanya, dan tidak
dapat, baik rujuk lagi maupun menikah lagi an tara bekas suami istri itu. Sedangkan
anak-anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.
Ad.7. Larangan menikahi
wanita pezina maupun laki-laki pezina
Tujuan perkawinan sifatnya adalah suci. Ia
harus dicegah dari segala unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi
lembaga keagamaan. Haramlah yang tidak melindungi, mengawal dan mengamankan
kesucian perkawinan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa
adanya saja, kebudayaan saja) tidak. Akan dapat menjaga atau tidak akan mampu
menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam q. Xxiv: 3 (surah ai nuur
ayat 3).
Laki-iaki yang berzina tidak dapat
menikahi perempuan baikbaik. Ia hanya dapat menikahi wanita pezina pula atau wanita musyrik. Dan perempuan
pezina tidak dapat dikawini laki-iaki baikbaik. Dia hanya dapat menikahi
dengan laki-iaki pezina pula atau laki-iaki yang musyrik. Demikian ditetapkan
oleh allah dan diharamkan orang-orang mukmin melakukan di luar ketentuan allah
tersebut.
Ad. 8. Larangan suami
menikahi perempuan (bekas istrinya)
Yang ditalak tiga kecuali perempuan bekas
istri tersebut telah dinikahi lebih dahulu oleh laki-iaki lain secara sah
kemudian tertalak lagi serta habis tenggang waktu iddah (menunggu).
Lihat Q. II: 230 yang berbunyi sebagai berikut: Q.
II: 230.
Kemudian apabila si suami menalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga
dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian apabila suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
bekas istri itu) untuk menikah kembali, apabila keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum allah.
Ad.9. Larangan kawin lagi bagi laki-laki yang
telah mempunyai istri 4 (empat) orang
Seperti telah penulis uraikan
pada bab I pengertian tentang perkawinan. Bahwa prinsipnya perkawinan menurut
hukum islam itu adalah monogami. Tetapi demi untuk melindungi atau untuk
kepentingan anak yatim yang berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan kamu
bolehlah menikahi ibu dati anak yatim tersebut dua, tiga atau maksimal 4
(empat) orang.
Berarti walaupun ada
pengecualian kawin poligami tetapi dibatasi hanya sampai dengan 4 (empat) orang
istti. Apabiia seseorang sudah mempunyai 4 (empat) orang istri haramlah baginya
menikah lagi untuk kelimanya (istri keiima). Q. Iv: 3 juncto q. Iv: 127.
Disyaratkan dalam terjadinya akad nikah itu harus ada Ijab dan Qabul,
dengan tidak ada jarak pemisah antara terjadinya Ijab dan diucapkannya Qabul. Menurut
ulama Malikiah tidaklah rusak akad itu dengan adanya pemisah yang sesaat,
sebagaimana dapat dipisahkan dengan khutbah sebentar.17)
Menurut ulama Hanafiah, bagaimana
andaikata ada lamaran seorang pria kepada seorang wanita, dengan mempergunakan
surat (tulisan) kemudian wanita itu memanggil2 (dua) orang saksi lalu
membacakan isi surat sambil berkata: aku nikahkan diriku kepada pelamar itu,
maka sahlah perkawinan itu.
Sepakat para ulama bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya
rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:
1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan;
2. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);
3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada
paksaan);
4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;
5. Harus ada mahar (mas
kawin) dari calon pengantin laki-iaki yang diberikan setelah resmi menjadi
suami istri kepada istrinya;
6. Harus dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-iaki islam merdeka;
7. Harus ada upacara ijab
qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya
dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas
kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya
perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria
membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia kekal dan berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.
8. Sebagai tanda bahwa
telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka seyogianya diadakan walimah
(pesta pernikahan) walaupun hanya sekadar minum teh manis atau dengan
sepotong kaki kambing untuk bahan sop;
10.
Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan
analogi q. Ii: 282 harus diadakan ilanun nikah (pendaftaran nikah), kepada
pejabat pencatat nikah, sesuai pula dengan undang-undang no. 22 tahun ] 946 jo.
Undang-undang nomor 32 tahun ]954 jo. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 (lihat
juga pasal 7 kompilasi hukum islam (instruksi presiden ri no. ] tahun 1991. Pendaftaran
ini penting untuk pembuktian bagi generasi berikutnya, baik tentang keturunan
berupa anak, dan cicit maupun pembuktian tentang sahnya pewarisan kelak.
Menurut sajuti thalib, s.h.,
terjadinya nikah itu ialah sesudah dipenuhi semua baik rukun maupun syarat
perkawinan, seperti adanya calon penga~tin perempuan dan calon pengantin
laki-]aki persetujuan yang bebas di an tara keduanya, telah matang baik jiwa
maupun raganya, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dibayar mahar (mas kawin),
ada izin dari orang tua wali, klimaksnya dengan aqdu al nikah (aqdunnikah)
diiringi dengan ijab (penawaran) dari pihak calon pengantin perempuan serta
qabul (penerimaan) dari pengantin laki-iaki.
Sunah hukumnya setelah ijab dan
qabul tersebut se]esai diadakan walimah (beserta pengumuman tentang terjadinya
nikah).19)
Hak dan kewajiban suami istri
dalam perkawinan
Dengan terjadinya
suatu akad nikah (perjanjian perkawinan),maka seorang laki-iaki yang
menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang perempuan
yang menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Di
samping itu mereka pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari
mengikatkan diri dalam perkawinan itu.
Hak dan kewajiban suami istri itu
ditegaskan, baik dalam Al quran maupun Hadis Rasul.Q. IV: 19
A. . . . . . . .
B. Hai suami janganlah
kamu cari-cari kesalahan istri kamu itu dengan maksud hendak
mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan kepadanya.
C. Hai suami bergaullah kamu
dengan istri kamu secara
pergaulan yang makruf (baik-baik).
D. Seandainya kamu telah merasa
tidak senang kepada istri kamu itu, hendaklah kamu sadari bahwa boleh
jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan allah menjadikan sesuatu hal
tersebut kebaikan yang banyak.
A. Istilah makruf adalah
istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan iktikad baik untuk kejujuruan
(tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father) yang biasa kita
temui dalam istilahistilah hukum perdata ,baik mengenai hubungan orang dengan
orang maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya bend a
(harta kekayaan).26)
B. Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah an tara suami
istri harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masingmasmg.
Dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka rahasia istrinya,
demikian pula sebaliknya haram si istri membuka rahasia suaminya.
Dan amat terpuji suami istri yang
menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman allah: Q. IV: 34
Demikian pula kita temui
pemyataan-pemyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri yang saling membuka
rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh rasul
dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh muslim.
Sabda rasul:
Bahwa sesungguhnya di antara
yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar)
ialah seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri itu,
sedangkan oleh suami tadi rahasia itu disiarkannya.
Begitupun seorang istri yang
diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia suami itu, kemudian oleh istri itu
dibukakannya kepada pihak lain.28)
Dalam salah satu
hadis yang lain rasul menyatakan ketidaksenangan beliau kepada suami istri yang
telah membuka rahasia masing-masing. Mereka yang membukakan rahasia masing-masing
antara suarni istri kepada pihak lain sarna dengan setan (iblis).
Rawahul asmak binti yazid dan
dibukukan oleh imam ahmad.29)
Seorang suarni/istri
rnernbukakan rahasia rnasing-rnasing kepada pihak ketiga berarti tidak ada lagi
unsur hormat-rnenghormati dan saling rnernberikan bantuan lahir dan batin.
Di dalarn Quran ditegaskan lagi
oleh tuhan: Q. XXX: 21 (Ar Ruurn)
A. Dari pertanda-pertanda tuhan, ialah Tuhan
rnenjadikan pasangan karnu dari diri karnu sendiri pasangan hidup karnu untuk
kamu dapat hidup secara sakinah (tenterarn) dengan istri karnu itu.
B. Dan dari pertanda-pertanda tuhan, ialah tuhan
menjadi.kan antara suami istri itu mawaddah
(cinta-mencintai) dan rahmah
(satuan-menyantuni).30)
Mawaddah artinya cinta-mencintai antara
suami istri yang meliputi pula arti saling memerlukan dalam hubungan seks. Umumnya
hal tersebut sangat diperlukan oleh pasangan suami istri yang masih muda dan
sesudah tua timbul rasa santun-menyantuni (rahmah).
Sedangkan pengurusan rumah
tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban istri
berdasarkan hadis rasul yang
Diriwayatkan bukhari dan muslim.
"Bahwa istri
adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yan bersangkutan."32)
Kelebihan fisik laki-iaki dari wanita dilihat dari kenyataan.
Karena kelebihan fisik ini maka
suami diberi kewajiban memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal untuk
istri dan anak-anaknya seperti ditegaskan tuhan dalam Q. LXV: 6. (surah Ai
Thalaq: 6).
A) Berilah tempat
istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu.
B) Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan hati mereka.
Dari Q. LXV: 6 ini terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan
tempat tinggal dipakai cara semacam patrilokal. Patrilokal di sini adalah
semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami bukan
berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah menjadi
keluarga dari keluarga suami.
Menurut prof. Dr. Hazairin,
S.H., patrilokal dalam islam ialah patrilokal dalam arti si istri wajib
mengikuti suami. Jadi dalam Q. LX: 6 ini perintah ditujukan kepada suami untuk
memberi tempat tinggal kepada istri dan tempat tinggal itu bersama suami
sendiri. Namun demikian janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu
memberatkan istrinya.
Bahwa pada prinsipnya pergaulan suami istri itu hendaklah:
- Suami kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
- Pergaulan yang makruf atau pergaulan yang baik serta saling menjaga rahasia masing-masing.
- Pergaulan yang sakinah atau pergaulan yang tenteram.
- Pergaulan yang diliputi rasa mawaddah atau cinta-mencintai terutama di masa muda.
- Pergaulan yang disertai rahmah, yaitu rasa santun-menyantuni terutama pada waktu tua telah mendatang.
Kedudukan suami istri
1. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu
rumah tangga.
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.
Kewajiban Suami
1.
Suami adalah pembimbing terhadap
istri dan rumah tangganya,akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang
penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara bersama. (pasal 80 ayat (1).
2.
Suami wajib melindungi istrinya
dan memb~rikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
3.
Suami wajib memberi pendidikan
agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
4.
Sesuai dengan penghasilannya
suami menanggung:
A. Nafkah, kiswah, dan tempat
kediaman bagi istri;
B. Biaya
rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan
Bagi istri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak. (pasal 80
ayat (4».
5. Kewajiban
suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas
mulai berlaku sesudah tamkim sempuma
dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari
kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat
(5) gugur apabila istri nusyuz.
Tempat kediaman
1.
Suami wajib menyediakan tempat
kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.
2.
Tempat kediaman adalah tempat
tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah
talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk
melindungi istri dan anakanaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah
tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman
sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.
Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang
1. Suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masingmasing
istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2. Dalam
hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu
tempat kediaman.
Kewajiban Istri
1.
Kewajiban utama bagi seorang
istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan hukum islam.
2.
Istri menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
3.
Istri dapat dianggap nusyuz
jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
pasal 83 ayat (j) kecuali dengan alasan yang sah.
4.
Selama istri dalam nusyuz,
kewajiban suami terhadap istrinya yang tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a
dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
5.
Kewajiban suami tersebut pada
ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
6.
Ketentuan tentang ada atau
tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Tentang pemeliharaan anak
1.
Batas usia anak yang mampu
berdiri sendiri atau dewasa adalah 2] tahun, sepanjang anak tersebut tidak
memiliki cacat fisik maupun mental atau belum pemah melangsungkan perkawinan.
2.
Orang tuanya mewakili anak
tersebut mengenai segaia perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3.
Pengadilan agama dapat menunjuk
salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.
II. Etika dalam perkawinan
1.
Bersikap
lemah lembut kepada isteri
Disunatkan
bagi suami bersikap lemah lembut dan ramah tamah kepada isteri, misalnya dengan
cara menyuguhkan sesuatu untuk diminum atau dimakan bagi kedua pasangan.
Perbuatan ini pernah dilakukan oleh Nabi terhadap isterinya, Siti Aisyah,
melalui hadits riwayat dari Ahmad dalam musnadnya bahwa Asma’ binti yazid bin As-sakan
berkata;
قَيَّنْتُ عاَئِشَةَ
لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جِئْتُـهُ فَدَعَوْتُهُ
لِجَلْوَتِهاَ ، فَجاَءَ اِلَى جَنْبِهـاَ فَأَتَى بِعُسٍ (قَدَحٍ) لَبَنٍ mengambil gelas itu dan ،
فَتَشَـرَّبَ ثُمَّ ناَوَلَهاَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ، فَخَفَضَتْ رَأْسَهاَ وَاسْتَحَيَتْ .
قاَلَتْ أَسمَاء : فاَنْتَهَرْتُهاَ وِقُلْتُ لَهاَ : خُـذِي مِنْ يَدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ، قاَلَتْ فَأَخَذَتْ فَشَرِبَتْ ثُمَّ
قاَلَ لَهاَ : اَعْطِي تُرْبَكَ (صَدِيْقَتِكِ) .
“aku pernah menghiasi
`aisyah untuk menyenangkan Rasulallah saw. Lalu aku datang kepada rasul dan
memintanya untuk menyerahkan hadiah kepada mempelai wanita (aisyah).
Selanjutnya rasulullah mendatangi aisyah dan duduk di sampingnya. Susu pun dihidangkan
dan rasul meminumnya, setelah itu susu diberikan kepada aisyah. Dengan perasaan
malu aisyah menundukan kepala. Kemudian asma’ berkata; “ambilah gelas itu dari
tangan nabi.” Aisyah pun meminumnya sedikit. Lalu nabi berkata ; “berikanlah
sisanya kepada sahabat karibmu.”
Malam pertama
merupakan faktor penting dalam kehidupan seorang isteri di dalam menembuhkan
benih cinta. Bisa pula malam pertama menumbuhkan sifat kebencian, jika tidak
dilakukan dengan mesra. Karena
itu sebaiknya bagi isteri tidak menampakan sikap berlebihan dalam menghindari
suaminya. Tidak mengapa ia menghindari suaminya secara wajar sebagai kemanjaan,
demi menjaga gairah suaminya agar tetap berkobar dan kuat. Penolakan isteri
secara berlebihan dapat menyulitkan suami dalam memecahkan keperawanannya dan
menikmati malam yang penuh dengan kebahagiaan. Bisa saja sikap yang berlebihan
akan menghilangkan hasrat suami melakukan hubungan seksual, sehingga
membutuhkan waktu yang lama dalam menyesuaikan diri.
Sikap
Aisyah menunjukan sikap kemanjaannya dengan memperlihatkan sikap malu. Memang
sikap manja ini penting sebagai pendorong simpati pria dan mendorong
kekuatannya. Tetapi sikap inipun jangan terlalu berlebihan, karena akan
menimbulkan kejenuhan dan kebencian sang suami pada isteri.
Di
antara pesan Rasulallah kepada suami diharapan suami dapat menggauli isteri
dengan cara yang baik. Sebab baik tidaknya interaksi suami akan terlihat di
saat malam pertama. Jika suami berinteraksi secara baik di malam pengantin
dengan menumbuhkan sikap sayang kepada isterinya, lembat lembut dalam tutur
kata dan penuh kemesraan, maka itu merupakan awal yang baik bagi kelangsungan
rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Allah swt
berfirman :
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ
خَيْراً كَثِيْراً
“Dan bergaulah kepada
mereka dengan baik. Jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal allah menjadikannya kebaikan yang
banyak.”
Ayat ini memerintahkan suami agar
bergaul dengan isteri secara baik, sehingga tercipta hubungan yang harmonis di
antara mereka. Pergaulan yang harmonis akan menenangkan jiwa yang resah dan
menciptakan kedamaian dalam hidup. Yahya bin Abdul Rahman al Handzali
menggambarkan sebuah hubungan yang harmonis lewat petikan Hadits Rasul, ia
berkata; “ ketika aku mendatangi Muhammad Bin Hanafiyah, ia keluar
menghampiriku dengan selimut merah, pada jenggotnya ada seberkas wewangian. Lalu
aku tanyakan ; ‘apa itu ? Tanyaku ! Jawab Muhammad; ‘ ini selimut merah yang
telah dilipatkan oleh isteriku dan ia memakaikan minyak wangi pada jenggotku
ini. Mereka menyukai kita sebagaimana kita menyukainya. Ibnu Abbas amat
menyukai perlakuan manja pada isteri. Katanya; aku suka berhias untuk isteriku
dan isteriku suka berhias untukku. Perbuatan yang baik dan harmonis ini
diperkuat dengan sabda rasulallah saw :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَاَنَا خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِـيْ
“sebaik-baik
kalian [umat islam] adalah mereka yang paling baik kepada keluarganya dan aku [rasulallah]
merupakan orang yang terbaik bagi keluargaku.” (hr.
Thabrani)
Imam Turmudzi dan nasa’i meriwayatkan sebuah hadits dari rasulallah
saw bersabda;
اَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطُفُهُمْ بِأَهْلِهِ
“Sepaling sempurna iman
seseorang adalah mereka yang terbaik dalam akhlaknya dan sepaling lembut pada
isterinya.” (hr. Bukhari)
Hadits ini mengisyaratkan kesempurnaan iman seseorang terlihat pada
akhlaknya dan sikap lemah lembut pada isterinya. Nabi telah mempraktekan sebuah
keluarga yang harmonis, di mana beliau sering bersenda gurau dengan isterinya
dan bermain bersama-sama. Hadits riwayat Aswad bin Yazid mengilustrasikan
kondisi harmonis rumah tangga Rasulallah SAW. Aisyah pernah ditanya oleh aswad
mengenai pekerjaan Nabi di saat berada di rumah, katanya; “apa yang dilakukan Rasulallah
saw saat berada di rumah? Jawab Aisyah; beliau melakukan pekerjaan isterinya. Tetapi
di kala adzan tiba beliau keluar untuk melaksanakan shalat. “ (HR. Bukhari)
Rasulallah sering
melakukan pekerjaan wanita semisal menjahit sandal, memerah susu kambing dan
melayani dirinya sendiri. Perbuatan tersebut tidak dianggap aib jika seorang
suami memiliki waktu senggang. Sebab dengan perbuatan yang baik itu menghargai
keberadaan isteri, ia mendapatkan penghargaan dari suami bukan diskriminasi
yang diterima. Namun jika suami tidak memiliki waktu senggang karena kesibukan
mencari nafkah, sebaiknya kondisi demikian bisa dimaklumi oleh seorang isteri
sebagai pembagian tugas rumah tangga. v
2.lemah lembut dalam bersenggama
- Melakukan shalat sunat sebelum bersenggama
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ
مَسْعُوْدٍ يُوْصِي رَجُلاً تَزَوَّجَ شاَباً بِكْراً ، وَقَدْ خَشِيَ اَنْ
تُبْغِضَـهُ : اِذَا اَتَتْكَ فَأَمْـرِهاَ اَنْ تُصَلِّيَ وَرَاءَكَ رَكْعَتَيْنِ
، وَقُلْ ، اَللَّـهُـمَّ باَرِكْ لِـي فِـى اَهْـلِي وَباَرِكْ لَهُمْ فِيَّ ،
اَللَّـهُـمَّ اجْمَعْ بَيْنَناَ ماَجَمَعْتَ بِخَيْرٍ ، وَفَـرِّقْ بَيْنَـناَ
اِذاَ فَرَّقْتَ بِخَيْـرٍ .
Abdullah bin Mas’ud
memberikan nasehat kepada seorang pria yang hendak menikahi seorang gadis yang
merasa khawatir isterinya akan membenci dirinya di saat ia ingin melakukan
hubungan seksual. (kata abdullah kepada lelaki itu) “suruhlah wanita itu untuk
melaksanakan shalat di belakangmu, dan ucapkanlah doa : “ya allah berkahilah
aku untuk keluargaku dan berkahilah mereka untukku. Ya allah satukanlah kami, sebagaimana
telah engkau satukan kami karena kebaikan dan pisahkanlah kami jika engkau
pisahkan untuk satu kebaikan.” (Hadits Riwayat Abi Syaibah Dan Thabrani
Dengan Sanad Shaheh).
Pengarahan ini
merupakan sebuah anjuran untuk berdoa dan shalat, terutama yang berkenaan
dengan doa agar dapat menghasilkan keturunan (anak) yang baik. Hal ini
mengisyaratkan kepada suami dan isteri bahwa tujuan utama dari sebuah
perkawinan yang diawali pada malam pertama bukanlah sekedar mencari kenikmatan.
Tetapi untuk tujuan yang lebih mulia yaitu
menunaikan kewajiban agama sekaligus mengharapkan agar mendapatkan
keturunan (anak-anak) untuk meramaikan kehidupan rumah tangga dengan celoteh
dan keelokan mereka di saat kecil, dan mengharapkan agar anak-anak mereka
nantinya dapat membantu agama dan umatnya. Tentunya ini bisa terlaksana dengan
adanya perhatian penuh dan pendidikan dari kedua orang tuanya terhadap anak-anak
mereka.
Begitulah Islam
mengangkat substansi dari sebuah pernikahan suami isteri pada malam pertama dan
menjadikan pengertian hubungan seksual yang memiliki tingkatan di atas
kenikmatan hewani ini sebagai perantara bukan sebagai tujuan.
Semua itu
menghantarkan suami isteri untuk mengontrol sikap berlebihan dalam mencari
kenikmatan dan upaya menyimpan energi mereka untuk melaksanakan kewajiban yang
suci.
·
Disunatkan suami meletakan
tangannya di atas kepala isterinya;
Ketika
seorang isteri menghampiri suaminya di malam pertama, sang suami dituntut untuk
bersikap lemah lembut dan ramah tamah kepadanya. Saat itu yang harus dilakukan
adalah mendekati isterinya dan mengusap kepalanya sambil berdoa agar pertemuan
yang indah itu mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan isteri, serta
mendatangkan keberkahan di malam pertama yang begitu indah mereka lalui.
Imam
Bukhari dan abu Daud meriwayatkan hadits dari Nabi SAW :
اِذاَ
تَزَوَّجَ اَحَدُكُمْ اِمْـرَأَةً ، فَليَأْخُـذْ بِناَصِياَتِهاَ وَلْيُسَـمِّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ ، وَلْيَدْعُ باِلْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ : اَللَّهُمَّ إِنِّي
اَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهاَ وَخَيْرِ ماَجَبَلْتَهاَ عَلَيْهِ ، وَاَعُوْذُ بِكَ
مِنْ شَـرِّهاَ وَشَـرِّ ماَجَبَلْتَهاَ عَلَيْهِ .
“Siapa yang menikahi seorang wanita, ketika isterinya memasuki kamar
pengantin dan menghampiri dirinya, hendaknya ia memegang ubun-ubun kepala
isterinya, membaca bismillah dan mengucapkan doa : “ya allah aku memohon kepada-mu
dari kebaikan dirinya dan kebaikan tabiatnya, dan aku berlindung dari kejahatan
dirinya dan kejahatan terhadap sifatnya.”
Tujuan doa ini agar dalam pertemuan yang pertama
menghasilkan kebaikan bagi keduanya sehingga perkawinan yang mereka jalani
mendatangkan keberkahan dari allah swt.
Di antara adab saat
malam pertama, sebelum senggama dilakukan, sebaiknya suami melakukan tindakan
yang lemah lembut kepada isterinya seperti bersenda gurau, berpelukan dan
berciuman. Tindakan ini diperintahkan oleh rasulallah saw seperti digambarkan
dalam hadits riwayat abu mansur ad dailami, rasulallah saw bersabda;
لاَيَقَعَـنَّ
أَحَـدُكُمْ عَلَى اِمْـرَأَتِهِ كَماَ تَقَعُ الْبَهِـيْمَةُ ، لِيَكُنْ بِيْنَهُـماَ رَسُوْلٌ . قِيْلَ :
وَماَ الرَّسُوْلُ ؟ قاَلَ : اَلْقُبْلَةُ وَالكَلاَمُ .
“Tidak sewajarnya seorang suami
mendatangi isterinya [bersenggama] seperti yang dilakukan binatang. Tetapi di
antara keduanya harus ada perantara . Ditanyakan apa yang dimaksud dengan
perantara itu? Jawab nabi; “senda guran dan ciuman.”
Seharusnya suami dan isteri melakukan pemanasan dengan sentuhan yang
lembut, buaian yang indah, ucap kata yang sopan, ciuman yang berkesan sehingga
keinmatan malam pertama benar-benar dirasakan. Dengan senda gurau dan ciuman
dapat mempersiapkan kondisi jiwa untuk bersenggama, membangkitkan gairah dan
menambah kelezatan bersetubuh.
· Membaca doa sebelum bersenggama
Alangkah indahnya, malam
pertama yang dilalui mendapatkan keberkahan, ketenangan dan kedamaian. Sepasang
suami akan merasakan bahagia yang tidak terlukiskan di saat malam pertama yang
mereka lalui bisa memberikan kepuasan kepada mereka berdua. Apalagi jika malam
itu dihiasi dengan sentuhan doa untuk menggapai keberkahan dari Allah. Ketenangan batin dan kepuasan diri akan
tercipta dengan iringan doa. Begitu pentingnya sebuah doa sehingga imam bukhari
meriwayatkan hadits dari ibn abbas yang berkenaan dengan keunggulan doa,
قاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ اَنّاَ اَحَـدَكُمْ اَتَى اَهْلَهُ وَقاَلَ :
بِسْمِ اللهِ ، اَلَّلهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا ، فَإِنْ قَضَى بَيْنَهُماَ
وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ الشَيْطاَنُ كُلُّهُ .
Kata nabi : “Jika
di antara kalian menggauli isterinya hendaknya ia mengucapkan doa : بِسْمِ اللهِ ، اَلَّلهُمَّ
جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا(dengan nama allah, ya
tuhanku jauhkanlah diri kami dari setan dan jauhkanlah setan dari sesuatu rizki
yang engkau berikan pada kami. Jika
hubungan seksual mereka ditakdirkan anak, maka setan tidak akan bisa membuat
mudharat selamanya. ”
Bahkan Imam Ghazali dalam kitab “ihya ‘ulum al din “ memberikan
beberapa tata cara bersenggama yang baik ; pertama diawali dengan membaca
bismillah, kemudian surat Al ikhlas, takbir dan tahlil, lalu membaca doa :
بِسْمِ اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ ، اَلَّلهُمَّ اجْعَلْهَا ذُرِّيَّةً
طَيِّبَةً إِنْ كُنْتَ قَدَّرْتَ أَنْ تَخْرُجَ ذَلِكَ مِنْ صُلْبِي. اَلَّلهُمَّ
جَنِّبْنِي الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا .
(Dengan nama allah yang maha tinggi lagi maha agung, ya allah
jadikanlah dia anak yang baik, jika engkau takdirkan dia dari tulang rusukku, ya
allah jauhkanlah aku dari setan durjana, dan jauhkanlah setan dari sesuatu yang
telah engkau berikan kami rizki.”)
Kemudian di saat
ingin mengeluarkan sperma maka ia mengucap dalam hatinya tanpa menggerakan
lisan dengan doa :
اَلْحَمْدُ للهِ
الَّذِى خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْراً وَكَانَ
رَبُّكَ قَدِيْراً .
“Alhamdulillah yang telah menciptakan manusia dari air sperma, kemudian
menjadikannya keturunan dan perkawinan, adalah tuhanmu benar-benar maka kuasa.”
Sebagian
ahli hadits mengucapkan takbir di saat keluar sperma sampai terdengar oleh
penghuni lain di dalam rumah, lalu ia membelakangi kiblat sebagai penghormatan.
Hendaknya setelah itu ia menutupi diri dan isterinya dengan baju atau kain
sarung agar setelah berhubungan badan aurat mereka tidak saling terlihat. Kebiasaan
rasulallah setelah bersenggama, beliau menutupi badannya dan tidak bersuara
kecuali ia mengucapkan kata pada isterinya dengan lantunan kata indah: “semoga
kamu merasa tentram”. Pada sebagian
hadits lain rasulullah memerintahkan kepada suami sebelum bersenggama hendaknya
bertutur kata ramah dan bercumbu dahulu jangan bersenggama seperti layaknya
binatang, tanpa ada kata mesra dan cumbuan, karena hanya ingin memuaskan egois
suami, sementara wanita dibiarkan menderita dan tersiksa karena dirinya belum
orgasme ternyata sudah ditinggalkan oleh suaminya.
Kembali persoalan hubungan seksual ini dikatakan
oleh Imam Ghazali; “Apabila suami terlebih dahulu menyelesaikan hajatnya, hendaknya
ia membantu isterinya mencapai ejakulasi, karena ejakulasi isteri terkadang
terlambat dari pria. Membiarkan sang isteri tidak mendapatkan ejakulasinya
termasuk penyiksaan bagi isteri. Menurutnya, ‘Apabila suami mengalami ejakulasi
lebih dahulu, tindakan ini membutuhkan usaha yang tidak mudah. Tetapi jika
isteri mengalami ejakulasi lebih dahulu dari suami, hal itu tidak terlalu sulit
bagi suami. Sifat egois dan menang sendiri [berpura-pura tidak tahu] pada saat
isteri mengalami ejakulasi lebih dahulu akan memberikan kenikmatan yang lebih
bagi sang isteri. Karena sang isteri merasa malu kepada suaminya yang sedang
sibuk mencapai ejakulasi.
Biasanya ejakulasi dini
disebabkan oleh faktor biologis, mental yang muncul dalam diri suami. Ejakulasi
dini tumbuh karena bertambahnya rasa ingin melakukan hubungan seks yang
berlebihan. Hingga keinginan yang kuat ini menjelma tatkala terjadi orgasme
meskipun hanya dengan menempelkan alat kelamin suami kepada vagina wanita saat
bersentuhan. Suami yang muda belia menderita ejakulasi dini disebabkan oleh
pengaruh biologis.
Cara yang dapat
memperlambat ejakulasi dini dengan usaha pengobatan pada alat reproduksi suami
adalah dengan mengoleskan sejenis minyak untuk mengulangi rasa pada sensitif
saat melakukan hubungan seksual, hingga mampu menahan sentuhan yang
mengakibatkan terjadinya ejakulasi dini. Dr. James [salah seorang pakar ilmu
kedokteran] telah menemukan cara yang cukup jitu untuk memperlambat ejakulasi
dini, yaitu suami meminta isterinya untuk meremes-remas kemaluan suaminya
dengan tangan isterinya sampai suami merasa sudah dekat untuk keluar, lalu
suami memberi isarat isterinya untuk berhenti (menahan). Kemudian isterinya
mengulangi lagi di saat rasa untuk keluar itu sudah hilang dan menahannya
kembali dengan isarat dari suami. Sesungguhnya dengan mengulangi perbuatan ini
merupakan cara untuk menjawab keinginan biologis. Sedangkan isyarat dari suami
merupakan masalah yang mungkin -biasanya untuk menguasai diri- dengan cara itu
dapat memperlambat ejakulasi dini dan suami bisa dengan cepat menguasai dirinya
untuk memperlambat ejakulasi sekiranya ia inginkan. Selain cara itu dokter
menasehati para suami agar mencegah isterinya jangan terlalu banyak bersolek
supaya keinginan untuk keluar dalam bersenggama agak berkurang.
Kebanyakan dari perilaku
isteri mengharapkan klitoris perempuan atau kelentitnya dicumbui oleh suaminya
sebelum melakukan aktivitas senggama. Akan tetapi terkadang mencumbui klitoris
ini disukai oleh isteri setelah melakukan senggama, guna menyempurnakan kenikmatan
yang dirasakannya. Barangkali ia belum sempurna
merasakan kenikmatannya di saat mengalami orgasme.
·
memilih waktu yang baik dalam bersenggama.
Disunatkan
bagi pasangan suami isteri, jika ingin bersenggama hendaknya mencari waktu yang
baik. Rasulallah saw berpesan pada penganten agar tidak lupa melaksanakan
hubungan intim pada hari atau malam jumat. Cara
seperti ini ditegaskan dalam hadits bahwa rasulallah bersabda :
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بُدْنَةً ، وَمَنْ رَاحَ
فِى السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً . وَمَنْ رَاحَ فِى
السَّاعَةِ الَّثالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَن رَاحَ فِى
السَّاعَةِ الرَّابِعَةَِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِى
السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً . فَإِذَا خَرَجَ
اْلِإمَامُ حَضَرَتِ اْلَمَلَاِئكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْـرَ .
“ Barangsiapa
mandi janabah pada hari jumat, kemudian ia pergi untuk melaksanakan shalat
jumat, seakan ia telah berkurban seekor unta. Barangsiapa pergi melaksanakan
shalat jumat pada waktu kedua, seakan-akan ia berkurban seekor sapi. Siapa yang
pergi pada waktu ketiga, seakan-akan dirinya berkurban seekor biri-biri. Siapa
yang pergi pada waktu keempat, seakan-akan dirinya berkurban seekor ayam. Sedangkan
siapa yang pergi pada waktu kelima, seolah-olah dirinya berkurban telur. Adapun
jika khatib telah keluar dan menyampaikan khutbahnya, maka para malaikat [pencatat
amal] duduk dan mendengarkan khutbah yang disampaikan.” (hr. Bukhari muslim)
Secara umum hadits ini
berbicara tentang bersegera dalam pelaksanaan shalat jumat. Namun ada satu sisi
lain yang berkenaan dengan mandi janabah. Secara eksplisit hadits menggambarkan
batas maksimum dan minimum bagi pengantin dalam melaksanakan hubungan badan
suami isteri, khususnya untuk pengantin baru, atau bagi pasangan yang sudah
lama menikah agar melakukan hubungan badan sebanyak dua kali dalam seminggu, kecuali
pada bulan madu. Dianjurkan agar mengurangi intensitas hubungan badan pada saat
usianya semakin bertambah. Karena terlalu sering bersetubuh akan berdampak pada
anggota badan menjadi lemah dan melemahkan akal. Sebaliknya apabila terlalu
jarang mengadakan hubungan badan akan menyebabkan pudarnya insting (dorongan) seks
dan menghilangkan keharmonisan rumah tangga disebabkan terhentinya hubungan
seksual.
Sebagian ulama
berkomentar, kata “gassala” mengindikasikan seorang lelaki mengumpuli
isterinya sebelum berangkat menuju shalat jumat. Hal ini bertujuan agar ia
lebih bisa mengendalikan nafsu dan pandangannya.
Ibnu qayyim al jauzi
memberikan pengarahan terhadap pemuda jika telah menikah sebaiknya hati-hati
terlalu sering melakukan hubungan seksual, agar dia dapat menjaga
keperkasaannya untuk masa tua dan unsur keremajaannya tidak cepat hilang, hingga
dia mampu melaksanakan pwersetubuhan dengan isterinya pada usia lanjut tanpa
ada kendala seksual. Hal tersebut bisa saja pada masa usia lanjut, dirinya
masih tetap dituntut untuk memenuhi kewajibannya.
Hendaknya pemuda muslim
yang memiliki pemahaman agama secara matang dapat mengetahui bahwa ketenangan
dan kenikmatan itu terletak pada kedekatan dengan kekasih. Kedekatan ini
terwujud melalui ciuman dan senggama. Dengan begitu akan dapat merasakan
lezatnya cinta. Sedangkan melakukan hubungan
badan terlalu sering akan mengurangi rasa dan kenikmatan cinta.
Selain
itu efek dari terlalu seringnya berhubungan badan dapat melemahkan kekuatan
seseorang, membahayakan urat syaraf, terjadinya orgasme dini, kejang-kejang
pada otot, melemahkan pandangan, memadamkan kehangatan seksual, meluaskan
saluran-saluran pembuangan dan rentang terhadap penyakit.
Sebaiknya
dalam hubungan seksual dengan isteri dilakukan setelah selesainya pencernaan
makanan bekerja, atau pada waktu-waktu santai dan tidak melakukan hubungan di
saat lapar. Karena hal tersebut dapat melemahkan kehangatan instink seks. Juga
jangan berhubungan badan pada saat perut masih penuh dengan makanan (kenyang), karena
akan mendatangkan rasa sakit. Tidak juga suami isteri bersenggama dalam kondisi
tubuh yang masih capai dan tidak fit. Hal itu akan mengurangi kenyamanan dalam
bersenggama. Bahkan sebaiknya dihindari bersenggama dalam kondisi emosi meluap-luap
atau dalam keadaan stress, sebab jika seseorang melakukan hubungan badan dalam
kondisi tersebut, hubungan suami isteri tidak akan optimal, dapat merusak
kemesraan dan kebahagiaan mereka. Akibatnya keharmonisan rumah tangga tidak
dirasakan oleh kedua pasangan.
Waktu-waktu
yang baik dalam berhubungan badan adalah setelah lewat tengah malam, setelah
prosesnya pencernaan makanan. Lalu mandi dan berwudlu, setelah itu tidur. Proses
ini akan menguatkan tenaga setelah bangun tidur.
·
Posisi yang baik ketika bersenggama
Allah swt. Berfirman :
أُحِلَّ لَـكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَـاِم الرَّفَثُ إِلَى نِسَـائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَاَنْتُمْ
لِبَاسٌ لَهُنَّ … [البقرة 187]
“Dihalalkan
bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian. Mereka
itu adalah pakaian bagi kalian dan kalian pun merupakan pakaian bagi mereka.”
Ibnu
abbas dalam tafsir ibnu katsir memberikan pengertian pada kata al
rafatsu sebagai jima’. Sedangkan kata hunna libatsul lakum wa antum
libatsul lahunna, wanita dianggap sebagai tempat tinggal bagi lelaki, begitu
pula sebaliknya, kaum lelaki sebagai tempat tinggal wanita. Ada yang
berpendapat bahwa pasangan suami isteri itu bagaikan pakaian, karena masing-masing
saling menutupi kulit dan lainnya. Kiasan berkumpulnya mereka adalah tanpa
pakaian saat melakukan hubungan badan. Oleh karena itu salah satu adab
bersenggama dianjurkan untuk melepas pakaian masing-masing. Karena dengan
bertelanjang akan merilekkan badan, mudah bergerak, lebih menambah kenikmatan
dan dapat melembutkan sang isteri. Lebih bagus keduanya melepaskan pakaiannya
dan menyatu dalam satu selimut. Tata cara ini sejalan dengan hadits riwayat
turmudzi dari nabi saw ;
اِيَّاكُمْ وَالتَّعَـرِّي ،
فَإِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَ يُفاَرِقُكُمْ إِلاَّ عِنْدَ الْغـاَئِطِ (قَضاَءِ
الْحاَجَةِ) وَحِيْنَ يُفْضِي الرَّجُلِ اِلَى اَهْلِهِ (اَى اَلْجِماَعِ )
فاَسْتَـحْيَوْهُمْ وَاكْـرِمُوْهُمْ .
“Waspadalah dan jangan
telanjang, karena bersama kalian tidak ada yang memisahkan diri kecuali di saat
melaksanakan hajat dan di saat bersenggama,
karena itu merasa malu-lah kalian dan muliakanlah mereka.”
Az-zujaj memperkuat peristilahaan wanita
diidentikan dengan pakaian atau kain. Dan Nabaqah Al Hamdi mengatakan ;” Apabila
teman tidur (suami isteri) menundukan leher, maka pasangannya pun melakukan hal
yang sama, sehingga jadilah mereka laksana pakaian bagi pasangannya.
Pakaian
suami adalah sesuatu yang menutupi tubuhnya. Begitu pula pakaian isteri adalah
sesuatu yang menutupi sekujur badannya. Karena itu berdasarkan persepsi di atas
sebagian ulama berpendapat tentang posisi yang baik bagi suami isteri dalam
bersetubuh adalah wanita berada pada posisi telentang. Posisi ini tidak selalu
permanen, bisa dengan posisi lain asalkan tepat mengenai sasaran senggama. Bagi
suami hendaknya membicarakan dan mengkompromikan posisi yang mereka inginkan
berdua agar terjalin hubungan yang menyenangkan dan mengasyikan bagi kedua
belah pihak.
Ibnu
Qayyim Al Jauzi memberikan cara posisi yang baik dalam bersetubuh, yaitu posisi
lelaki berada di atas perempuan dengan posisi telungkup. Hal ini dilakukan
setelah diadakan pemanasan dan bercumbu rayu terlebih dahulu. Dengan cara
seperti ini perempuan disebut sebagai ranjang. Barangkali ini ada kesesuaian
dengan ucapan nabi “anak adalah ranjang untuk ibunya”.
Pada
persoalan pakaian yang paling baik digunakan untuk bersetubuh kalau lelaki
tempat tidurnya itu pakaiannya dan kalau perempuan selimutnya itulah pakaiannya.
Cara ini diambil dari konteks ayat hunna libasul lakum wa antum libasul
lahunna”.
Sementara
sejelek-jelek posisi yaitu posisi perempuan berada di atas lelaki sehingga ia
mengumpuli isteri di atas punggungnya. Cara ini menyalahi cara yang alami di
mana allah mencirikan lelaki terhadap wanita. Hal ini mengandung efek negatif, yaitu
mani yang keluar seluruhnya terkadang masih tersisa di anggota badan, menjadi
busuk dan mengakibatkan bahaya pada badan.
Allah swt berfirman :
نِسـَاءُكُـمْ حَرْثٌ لَـكُمْ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ
اَنَّى شِئْـتُمْ
“Isteri-isteri
kalian adalah ladang bagi kalian. Maka datangilah ladang kalian itu sebgaimana
kalian menghendaki. (qs. Al baqarah :
223)
Ibnu
abbas berkata, lafaz “al hartsu” bermakna tempat anak, sedangkan lafaz “fa`tu
hartsakum anna syi`tum” mengindikasikan pengertian bagaimana saja kamu
kehendaki, dari depan atau dari belakang tetapi pada satu lobang yaitu tempat
bercocok tanam yang potensial menghasilkan anak. Ayat di atas sebagai bantahan
ucapan orang-orang yahudi yang mengatakan bahwa siapa yang bersenggama dengan
isterinya dari belakang maka akan menghasilkan anak yang juling. Kemudian Allah
turunkan ayat di atas yang menegaskan bahwa isteri-isteri dianggap sebagai
ladang, dari mana saja kita mulai bercocok tanam, yang penting sasarannya
tempat yaitu tempat bercocok tanam yang dapat menghasilkan anak. Rasulallah
berkata : “Boleh dari depan atau dari belakang apabila ditujukan pada vagina
wanita.”
Imam
Ahmad menceritakan dari Abdullah bin Sabith berkata; “Aku menjumpai hafsah
binti Abdul Rahman bin Abu Bakar dan aku tanyakan ; ‘Aku ingin tanyakan tentang
suatu perkara, tetapi aku malu mengutarakannya. Jawab Hafsah; jangan engkau
malu wahai anak saudaraku ! Abdullah lanjut berkata ; ‘aku bertanya tentang
menggauli wanita dari belakang? Lalu Hafsah berkata; ‘Ummi Salamah pernah
menceritakan kepadaku bahwa orang-orang Anshar menggauli isteri-isterinya dari
posisi belakang sampai orang-orang Yahudi mengatakan bahwa siapa yang menggauli
isterinya dari belakang, akan menghasilkan anak yang juling matanya. Kemudian
di saat kaum Muhajirin datang di kota Madinah mereka banyak menikahi wanita-wanita
kaum Anshar. Mereka menggauli isteri-isterinya dari posisi belakang, sehingga
wanita Anshar merasa enggan menuruti kemauan suaminya, katanya ; ‘Jangan kamu
lakukan seperti itu sampai aku bertanya kepada Rasulallah saw. Kemudian aku
masuk dan menjumpai Ummi Salamah, aku ceritakan hal itu kepadanya. Duduklah ! Kata
Ummi Salamah sampai Rasulallah datang. Di saat Rasulallah
datang wanita Anshar itu malu menanyakan persoalan tersebut. Lalu Ummi Salamah
keluar dan menanyakan hal itu kepada Rasulallah SAW. Kata Rasul, ‘panggil
wanita Anshar itu ! Ummi Salamah langsung memanggilnya. Selanjutnya Rasulallah
saw membacakan ayat nisa`ukum hartsu al lakum fa`tu hartsakum anna syi’tum (Isteri-isteri kalian adalah ladang, oleh
karena itu cangkulah ladang itu dari mana saja kamu inginkan, [ tetapi dalam
satu lobang].
Pada
riwayat lain diceritakan kisah ini dari Ibnu Abbas bahwa menyembah berhala
adalah salah satu aktivitas kaum Yahudi. Mereka beranggapan derajat-derajat
mereka memiliki keutamaan dari sisi keilmuwan. Sedangkan kaum Anshar yang
datang sesudah mereka banyak menghilangkan amalan-amalan mereka amalan-amalan
di sini adalah menggauli isteri-isteri mereka hanya pada posisi miring. Sebab
menurut mereka hal itu akan menutupi
sesuatu yang ada pada diri wanita. Sementara kebiasaan dari kaum Quraisy
pada saat melakukan senggama, mereka memposisikan isteri dengan telentang dan
menikmatinya dengan cara langsung dari depan maupun dari belakang. Di saat kaum
muhajirin mendatangi kota madinah, salah seorang dari mereka mengawini wanita
dari golongan Anshar. Lelaki
itu menggauli isterinya dari posisi depan dan belakang dan dengan cara
telentang. Tetapi hal itu ditolak oleh isterinya [wanita anshar] seraya berkata;
‘Kaum kami hanya digauli dengan posisi miring, oleh karena itu lakukanlah
sebagai kebiasaan kaum kami melakukannya. Jika tidak, jauhilah diriku. Persoalan
ini menjadi besar sampai berita itu diketahui oleh rasulallah saw. Hingga allah
menurunkan ayat nisa`ukum hartsu al lakum fa`tu hartsakum anna syi`tum.”
(h.r. hakim )
· Dianjurkan berwudlu ketika
ingin mengulangi senggama
Dalam hadits rasul
dijelaskan bahwa suami isteri yang ingin mengulangi senggamanya dianjurkan untuk berwudlu. Sabda rasulallah saw :
إِذَا
اَتَى اَحَدُكُــمْ اَهْلَـهُ ثُمَّ اَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأ
بَيْنَهُمَا وُضُوْءاً فَإِنَّهُ اَنْشَطُ لِلْعُوْدِ
“jika diantara kalian
ingin mendatngi isterinya [senggama] lalu ingin mengulangi senggama itu, hendaknya
keduanya berwudlu, karena hal itu akan lebih menanmbah semangat.” (hr. Bukhari
muslim)
Tujuan dari
berwudlu agar semangatnya pulih kembali, mengembalikan tenaga yang telah terkuras
ketika senggama pertama. Sekaligus dengan berwudlu ia dapat mengintrospeksi
dirinya dan memperbaiki penampilan dari yang pertama.
Ibnu Qayyim al
jauzi mengutamakan bersenggama pada siang hari, agar indera perasa dapat
mencapai kebahagiaan. Juga karena alasan lain di mana malam hari adalah waktu
di mana indera perasa terasa dingin dan menuntut ketenangan. Sedangkan siang
hari merupakan waktu energik, saat bertebarannya gerakan-gerakan rangsangan. Seperti
yang difirmankan oleh allah : “dialah [allah] yang menjadikan malam hari
untuk kalian sebagai pakaian dan untuk beristirahat serta dia [allah] pula yang
menjadikan siang untuk bangun dan berusaha [mencari nafkah].
Sementara ada ulama
lain yang mengutamakan bersenggama di malam hari lebih baik dari pada siang
hari. Penulis berpendapat bersenggama di waktu siang barangkali tidak patut dan
kurang tepat, sebab di siang hari kita ddituntut untuk mencari nafkah, hal ini
tidak bisa dilakukan bagi mayoritas orang, apalagi para pekerja, bisnismen dll.
Nanum ada waktu yang cukup efektif dalam bersenggama yaitu dilakukan setelah
shalat fajar kemudian tidur sebentar. Yang pasti bersenggama kapan saja bisa
dilakukan, tentunya harus menlihat kesibukan dan pekerjaan seseorang agar tidak
mengganggu aktivitas mereka.
Lafaz “fainnahu
ansyathu fi al wudlu” mengisyaratkan kegunaan berwudlu ketika mengulangi
senggama, dengan keuntungan menambah semangat dan memulihkan tenaga yang telah
terkuras. Kondisi tubuh yang lemas itu akan bangkit melalui anggota wudlu. Selain
itu dengan berwudhu sewaktu-waktu meninggal di tempat tidur, ia tetap meninggal
dalam keadaan suci. Inilah resep yang paling mujarab, tidak membutuhkan materi
lain untuk membangkitan gairah, seperti sekarang ini kita banyak menyaksikan
penawaran berbagai macam obat-obatan untuk memperkuat keperkasaan lelaki ketika
bersenggama. Meskipun itu ada manfaatnya, namun memiliki efek lain dalam tubuh
kita. Tetapi dengan berwudlu, kita bisa mendapatkan manfaatnya lebih banyak dan
tidak mendapatkan efek negatif dalam tubuh kita.
Ada sebagian pendapat menganjurkan mandi
setelah bersenggama karena mandi itu lebih afdhal. Hal ini dijelaskan melalui
riwayat dari abu daud dan nasa’i bahwa rasulallah saw suatu ketika mendatangi
isteri-isterinya. Beliau
mandi pada satu isteri, dan mandi lagi pada isteri yang lain. Kemudian rasulallah ditanya; ‘wahai rasul
kenapa anda tidak melakukan satu kali mandi saja? Jawab nabi ; ini lebih baik, lebih
bersih dan lebih suci.” Namun ada juga riwayat yang menjelaskan bahwa nabi
mendatangi isteri-isterinya dalam satu kali mandi saja. Tidak harus mandi di
setiap isteri yang didatangi.
Dari
riwayat-riwayat hadits di atas hanya mengandung keutamaan jika dilakukan
beberapa kali mandi setiap menggauli isterinya. Sementara mandi wajibnya hanya
satu kali meskipun berkali-kali ia bersenggama dengan isterinya. Hadits tentang
anjuran berwudlu secara implisit mengindikasikan bolehnya mandi hanya satu kali
meskipun bersenggama berkali-kali. Hanya saja jika keduanya mandi merupakan
satu keutamaan yaitu apabila keduanya bangun untuk melaksanakan shalat fajar, mereka
akan bersegera melakukan shalat tersebut tanpa bermalas-malas, atau luput
terhadap shalat, atau mendapatkan kesulitan terutama pada waktu musim dingin.
Aisyah
menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan rasul bahwa beliau pernah
tertidur setelah melakukan senggama, sementara beliau dalam keadaan junub. Ia
tidak menyentuh air hingga beliau bangun dari tidurnya. Rasulallah di saat
dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau tidak mandi tetapi berwudlu dan
bertayammum. Hadits ini memberikan penjelasan tentang keutamaan bersuci setelah
bersetubuh dan mau tidur.
B. Memenuhi tanggung jawab suami isteri
1. Suami dalam membahagiakan
isteri
Setiap
makhluk hidup mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban akan
berjalan dengan baik jika dilakukan dengan tanggung jawab yang benar dan konsekwen. Apalagi hal itu
berkaitan dengan tanggung jawab suami terhadap isterinya dalam membina rumah tangga yang harmonis. Menjalankan
tanggung jawab dengan baik akan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi
antara suami dan isteri. Terkadang sebagian dari suami mengartikan kepemimpinan
(الرجال قوامون على النساء ) sebagai
tindakan menguasai, bertindak sewenang-wenang dan memperbudak isterinya. Pemahaman
seperti ini merupakan pemahaman yang keliru. Sebenarnya jika suami isteri
mengetahui batasan hak dan kewajibannya, mereka berdua akan hidup damai dan
bahagia.
Seorang isteri jika memikul tanggung
jawab yang memang seharusnya dipikul oleh suaminya, sebagai kepala keluarga, dikhawatirkan
akan terjadi badai kehancuran rumah tangga. Karena harus berhadapan dengan
tanggung jawabnya sendiri sebagai isteri. Firman allah dalam al quran :
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ …
“kaum lelaki adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena itu allah telah melebihkan sbagian mereka [laki-laki]
atas sebagian yang lain [wanita] dan karena mereka [laki-laki] telah
menafkahkan sebagian harta mereka.”
Ayat ini menunjukan
suatu kepemimpinan laki-laki di atas wanita. Allah menempatkan hikmahnya
agar menjadi jelas bahwa fitrah laki-laki berbeda dengan fitrah wanita. Seorang
isteri memiliki kelebihan di dalam mengatur masalah rumah tangga, pendidikan
anak serta tanggung jawab yang mencerminkan kasih sayang, keramah tamahan
kepada anak dan suaminya. Sementara laki-laki melebihi wanita dalam sisi fisik,
kekuatan berfikir, keberanian di dalam mempersiapkan perjuangan keluar dari
bebagai kesulitan, mencari nafkah untuk kebutuhan lahir dan bathin, mempertahankan
harga diri dan menolak dari segala ancaman dan mara bahaya. Sebab lain yang
mendasari laki-laki menjadi pemimpin adalah kewajibannya mencari nafkah. Karena
sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Dalam membina hubungan rumah tangga
diperluakan sebuah tanggung jawab antara suami dan isteri. Tanggung jawab yang
dilakukan dengan benar dan tepat akan menciptakan mahligai rumah tangga yang
bahagia, sejahtera damai dan sentosa. Di antara tanggung jawab seorang suami adalah :
2.
Memberikan nafkah pada
isteri
Islam memerintahkan
kepada sang suami agar memberikan nafkah pada isteri dan keluarganya. Karena di saat akad nikah telah
dilaksanakan, di situlah kewajiban suami mulai dilaksanakan dengan memberikan
nafkah kepada isteri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Rasulallah pernah ditanya oleh seseorang
tentang tanggung jawab suami terhadap isterinya, yang digambarkan lewat hadits
riwayat dari hakim bin muawiyah al qusyairi, dari bapaknya;
قاَلَتْ رَجُلٌ مِنَ
الصَّحاَبَةِ : ياَرَسُوْلَ اللهِ ! ماَ حَقُّ زَوْجَةِ اَحَدِناَ عَلَيْهِ ؟
قاَلَ : اَنْ تُطْعِمَهاَ اِذاَ طَعِمْتَ وَتَكْسُوْهاَ اِذاَ اِكْتَسَيْتَ وَلاَ
تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَتُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ اِلاَّ فِى الْبَيْتِ . [اخرجه
احمد وابو داود وابن ماجه]
“ada seseorang bertanya
kepada rasulallah, tanyanya ; ‘ya rasulallah apa hak isteri terhadap suaminya? Jawab
beliau ; ‘berikan makan di saat kamu makan, berikan ia pakaian di saat kamu
memakai pakaian, janganlah kamu memukul mukanya, jangan dijelekan dan jangan
kamu asingkan kecuali masih dalam rumahmu.’” (hr. Ahmad, abu daud dan ibnu
majah)
Hadits ini
menegaskan sejumlah hak-hak isteri yang harus ditunaikan oleh suami. Sesuatu
yang menjadi keperluan suami maka termasuk keperluan isteri. Diantaranya
memberikan nafkah, baik lahir maupun batin, memperlakukannya dengan baik, tidak
menzalimi dan tidak mengusirnya, jika ada kesalahan kecil. Justru sang isteri harus diperlakukan
dengan baik, lembut dan ramah.
Islam
telah memberikan ketentuan nafkah sebagai hak isterinya, baik dia orang kaya
atau orang miskin. Kewajiban tersebut telah digariskan oleh al quran dalam
surat at talaq ayat 7 yang artinya :”hendaklah orang yang mampu dapat
memberikan nafkah menurut kemampuannya.” Dalam surat al baqarah ayat 233 memperkuat
dari tanggung jawab tersebut, yang artinya : “dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” Juga pada surat at talaq ayat 6 menegaskan
kewajiban suami agar memberikan tempat tinggal pada isteri. Pada konteks hadits,
hak-hak wanita juga mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi diskriminasi
dan perlakuan kasar dari suami. Selengkapnya konteks
hadits tersebut sebagai berikut :
عن سليمان بن عمرو بن الأحوص
قال: حدثني أبي أنه شهد حجة الوداع مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، فحمد الله واثنى عليه ، وذكر ووعظ . فذكـر فى
الحديث قصة فقال : ألآ واستوصوا بالنساء خيرا ، فإنما هن عوان عندكم . ليس تملكون
منهن شيئا غير ذلك ، إلا أن يأتين بفاحشة مبينة . فإن فعلن فاهجروهن فى المضاجع
واضربون ضربا غير مبرح . فإن اطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا . ألآ ان لكم على
نسائكم حقا ، ولنسائكم عليكم حقا . فأما حقكم على نسائكم فلا يوطئن فرشكم من
تكرهون ولا يأذن فى بيوتكم لمن تكرهون، ألآ وحقهن عليكم ان تحسنوا إليهن فى
كسواتهن وطعامهن .
“dari sulaiman bin amr bin al ahwash berkata; “bapakku
berbincang kepadaku bahwasanya ia mengikuti haji wada` bersama rasulallah saw. Beliau
mengucapkan hamdallah dan memuji-nya, lalu beliau mengingatkan dan menasehati. Ia
menyebutkan dalam satu qisah hadits : katanya :’ ketahuilah perlakukanlah
isteri-isteri kalian dengan baik, sebab mereka bagaikan tawanan kalian. Kalian tidak memiliki hak selain itu, terkecuali jika mereka berbuat
kekejian. Jika mereka melakukannya, tinggalkanlah mereka dan tidurlah dengan
terpisah darinya, pukulah mereka dengan pukulan yang tidak mencederainya. Jika
mereka mematuhi kalian, maka jangan halangi jalannya. Ketahuilah bahwa kalian
mempunyai hak atas isteri kalian dan mereka juga memiliki hak atas kamu semua. Hak
kalian atas mereka adalah kalian berhak melarangnya untuk tidak memasukan
siapapun orang-orang yang tidak kalian sukai dan tidak mengizinkan orang-orang
yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Ketahulah bahwa hak mereka
terhadap kalian adalah memberikan pakaian dan makanan.’” (hr. Turmudzi)
Berdasarkan
nash-nash di atas, ada beberapa pandangan di kalangan ahli fikih terhadap
tanggung jawab suami kepada isterinya. Menurut mazhab hanafi, wajibnya nafkah
atau tanggung jawab materil lainnya terhadap isteri, jika diikatkan pada satu
syarat, yaitu seorang isteri telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami
untuk tinggal dan berbakti kepadanya, serta mampu melaksanakan hubungan badan
suami isteri. Terlepas apakah suaminya mampu atau tidak melakukan hubungan
seksual, yang terpenting isteri siap jika diajak bersenggama dengan suaminya.
Pandangan
lain diberikan oleh mazhab maliki berpendapat bahwa pemberian nafkah harus dikaitkan
dengan penyerahan diri wanita kepada suami dan dalam kondisi mampu mengadakan
hubungan seksual. Bahkan mazhab syafi’i dalam pemberian nafkah lebih menekankan
kemungkinan penikmatan hubungan seksual. Sementara pada mazhab hanbali
mengatakan bahwa jika sang isteri belum digauli, bagi suami tidak ada kewajiban
memberi nafkah, karena suami belum menikmati hubungan seksual.
Pandangan
berbeda diutarakan oleh mazhab zahiri, mereka mengatakan wajibnya pemberian
nafkah dikaitkan dengan adanya ikatan nikah saja, tidak dikaitkan dengan
penyerahan diri serta adanya kemungkinan melakukan hubungan seksual. Jika telah
terlaksana nikah, nafkah wajib bagi isteri, terlepas apakah isteri itu berada
di rumah suaminya atau tidak, dan atau apakah isteri berstatus janda atau perawan.
Sedangkan
pandangan mazhab ja`fari sejalan dengan pandangan empat mazhab di atas bahwa
nafkah diwajibkan jika telah diikat dengan nikah dan mampu melakukan hubungan
seksual, kecuali jika isteri itu membangkang dan tidak mau patuh terhadap
suaminya (nusyuz), maka sang isteri tidak berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya.
Dari
beberapa pendapat di atas, para fuqaha sepakat tentang kewajiban memberikan
nafkah kepada isteri di saat telah terjadi ikatan pernikahan dengan beberapa
ketentuan yang harus dimiliki oleh isteri seperti kewajiban mematuhi suami
dalam kebaikan, dirinya siap dan layak untuk dijadikan pasangan hidup sebagai
isteri. Nafkah yang diberikan mulai dari ikatan perkawinan sampai wanita itu
dalam kondisi talak raj’i atau wanita dalam kondisi hamil.
Para
fuqaha sepakat mengenai pemberian akomodasi (mut`ah) kepada isteri yang telah
ditalaknya, apabila suami sempat menggaulinya, baik maharnya telah ditentukan
atau belum; dan juga kepada isteri yang ditalak sebelum sempat dicampuri
apabila maharnya belum ditentukan. Apabila wanita yang dicerai sebelum dicampuri
sedang maharnya telah ditentukan, ia masih berhak menerima separoh mahar. Dengan demikian ia tidak perlu diberi
mu’tah, sesuai dengan firman allah :
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ
تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ
“jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal kamu sebenarnya telah menentukan maharnya, maka bayarlah
separo dari mahar yang telah kamu tentukan. (qs. Al baqarah : 237)
Sementara wanita yang dicerai teah
digauli oleh suaminya maka dirinya berhak mendapatkan mu’tah, sebagaimana
firman allah yang artinya ; “kepada wanita-wanita yang diceraikan [hendaknya
diberikan oleh suaminya] mu’tah menurut yang ma’ruf. Qs. Al baqarah ; 241)
Bagi wanita yang ditalak raj’i
ketentuan mut`ahnya mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Sedangkan bagi wanita yang talak tiga tidak mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal. Sebagaimana dijelaskan oleh hadits riwayat fatimah binti qais bahwa
nabi berkata kepadanya mengenai wanita yang ditalak tiga, katanya : “ia (isteri)
tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.” Pada kasus wanita yang melakukan
khulu’ juga tidak berhak mendapatkan nafkah. Sama halnya dengan wanita yang
ditinggal mati suaminya, ia tidak berhak menerima nafkah dan tempat tinggal.
Dalam ketentuan pemberian nafkah melihat
pada kondisi suami. Kalau memang suami itu kaya, maka ia harus memberikan
nafkah sesuai dengan kekayaannya. Sementara bagi suami yang ditimpa kesulitan, maka
ia harus memberikan nafkah kepada isterinya semampunya, tidak disamakan dengan
kondisi suami yang kaya. Jika isterinya orang kaya sementara kondisi suaminya
miskin, maka untuk mencukupi kebutuhannya, seorang isteri bisa mengeluarkan
biaya nafkah dari hartanya sendiri, tanpa harus memaksakan kondisi suami yang
miskin. Seandainya pihak isteri tidak ingin mengeluarkan hartanya untuk biaya
nafkah, maka dirinya harus bersabar dengan kondisi suaminya.
Persoalan
jenis nafkah di kalangan fuqaha memberikan beberapa rincian. Misalnya pada
mazhab hanafi yang mengaitkan jenis nafkah segala bentuk yang diperlukan oleh
isterinya, selain tiga jenis, makanan, minuman dan pakaian, termasuk biaya
pengobatan jika isterinya sakit, terutama jenis penyakit yang dapat mengganggu
hubungan suami isteri. Sebagian golongan dari mereka lebih ketat membatasi
nafkah. Jika isteri sakit setelah menyerahkan dirinya untuk suaminya, maka
wajib memberikan biaya pengobatan. Tetapi jika isteri sakit sebelum menyerahkan
diri kepada suaminya, maka tidak ada kewajiban mengobati sakit yang diderita
oleh isteri.
Lebih
rinci lagi ulama malikiyah memberikan ketentuan nafkah dengan mengaitkan lauk
pauk, pakaian dan tempat tinggal yang disesuaikan dengan adat kebiasaan dan
melihat kemampuan suami. Sama halnya dengan mazhab syafi’i yang memberikan
keterangan tentang nafkah seperti makanan, lauk pauk, pakaian, alat kebersihan,
dan perkakas rumah. Tentunya hal ini diberikan sesuai dengan kondisi suami.
Pemberian
nafkah tidak hanya dianggap sebagai suatu kewajiban suami terhadap isterinya. Tetapi
dari sisi pahala mendapatkan ganjaran yang amat besar. Hal ini diceritakan pada
hadits riwayat ka’ab bin ajrah, ia berkata;
مَرَّ عَلىَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ، فَرَأَى أَصْحاَبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ وَنَشاَطِهِ ، فَقاَلُواْ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ
! لَوْ كَانَ هَذاَ فِى سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنْ كاَنَ خَرَجَ يَسْىَ عَلَى وَلَدِهِ صِغاَراً فَهُوُ
فِى سَبِيْلِ اللهِ ، وَاِنْ كاَنَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى اَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ
كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ ، وَاِنْ كاَنَ خَرَجَ يَسْعَى رِياَءً
وَتَفاَخُراً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ الشَيْطاَنِ . [رواه الطبراني ]
“ada seorang laki-laki mendatangi nabi saw. Para
sahabat melihat orang laki-laki itu penuh dengan ketabahan di mana terlihat
dari semangatnya yang tinggi. Kemudian para sahabat bertanya kepada nabi; ‘ wahai
rasulallah ! Apakah usahanya itu mendatangkan pahala seperti berjuang di jalan
allah. Jawab rasul; ‘seandainya ia keluar untuk berusaha mencari nafkah guna
menghidupi anaknya yang masih kecil, maka usahanya berada di jalan allah. Seandainya
ia keluar mencari nafkah untuk kedua orang tuanya yang sudah renta, maka ia
berada di jalan allah. Sebaliknya jika ia usaha karena riya dan berbangga diri,
maka usahanya berada di jalan setan.’’”
Tidak hanya itu, memberikan
nafkah kepada keluarga lebih baik dari pada memberikan satu dinar untuk
memerdekakan budak dan memberi pada anak miskin. Semua itu dilakukan jika
mengharap ridla allah. Bukan karena keterpaksaan dan ingin dianggap dermawan. Rasulallah
saw bersabda:
ماَاَطْعَمْتَ نَفْسَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَماَ اَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَماَ
اَطْعَمْتَ زَوْجَتِكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ . [رواه احمد ]
“sesuatu
yang engkau makan untuk dirimu sndiri, maka itu merupakan sedekah bagimu. Sesuatu yang engkau jadikan makanan bagi
anak-anakmu, maka itu merupakan sedekah. Dan sesuatu yang engkau jadikan
makanan bagi isterimu, itu juga dianggap sebagai sedekah.”
3.
Membimbing isteri dalam
kebaikan
Kiat
untuk mencapai mahligai rumah tangga yang bahagia dan harmonis adalah sikap
saling memahami antara suami isteri. Bagi seorang suami harus mengetahui dan
memahami tabiat isterinya dan bergaul dengan baik kepadanya. Hal demikian harus
dilakukan oleh suami dengan memberikan sesuatu yang menyenangkan dan
menggembirakan dirinya. Rasulallah saw sering bercanda gurau dengan isteri-isterinya,
bahkan tak jarang rasul ikut serta dalam pekerjaan rumah tangga. Seperti
diterangkan pada hadits riwayat aswad bin yazid, ia berkata; “ aku tanyakan
kepada siti aisyah tentang perbuatan yang dilakukan oleh rasulallah saw sewaktu
berada di rumah. Kata aisyah; ‘rasul selalu melakukan pekerjaan rumah tangga. Apabila
waktu adzan datang ia meninggalkan pekerjaan itu dan keluar untuk melakukan
shalat.’”
Sifat
saling tolong menolong dalam membina hubungan rumah tangga merupakan satu
kebiasaan yang baik dan mendatangkan banyak manfaat. Apabila seorang suami
mengerti kesibukan isteri yang padat, tentu dirinya akan tergugah membantu dan
meringankan pekerjaan isteri. Karena hidup berumah tangga bukan sekedar
menjalankan tanggung jawab individu. Tetapi justru bagaimana menjalankan
tanggung jawab itu secara bersamaan. Oleh karena itulah suami atau isteri harus
dijadikan patner atau sahabat, sehingga tercipta suasana kebersamaan bukan
nuansa diskriminasi dan perbudakan.
Ilustrasi
hadits di atas mencerminkan pola hidup bersama antara suami isteri. Tindakan
yang dilakukan oleh rasulallah merupakan sebuah cerminan bagi keluarga, di mana
suami harus pandai-pandai memperlakukan isterinya dengan baik, membantu
pekerjaan rumah jika suami memiliki waktu luang. Memang dalam berumah tangga
ada kewajiban tersendiri antara suami isteri. Misalnya bagi seorang suami harus
mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan anak dan isteri, biasanya ini
dilakukan oleh suami dengan mencari pekerjaan yang berada di luar rumah. Sementara
seorang isteri harus menjalankan tugas mendidik anak dan melakukan pekerjaan
rumah tangga. Tetapi dengan adanya pekerjaan masing-masing tidak tertutup
kemungkinan untuk saling membantu. Bagi seorang suami jika memang pekerjaan
mencari nafkah telah diselesaikan, tidak ada salahnya membantu pekerjaan rumah
yang masih dikerjakan oleh isteri. Begitu pula sebaliknya bagi seorang isteri, jika
telah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya, dia bisa meringankan tugas suami
dengan membantu dan meringankan tugas suami. Perasaan isteri akan
sangat gembira, jika suami mengerti kesibukan yang dijalankan oleh isteri. Karena
itu ia akan sangat bergembira, jika tugasnya diringankan oleh suaminya, apalagi
suami membantunya dalam keadaan senang.
Upaya membimbing isteri dalam
menciptakan rumah tangga yang harmonis juga harus didasari dengan musyawarah
dalam memecahkan sebuah persoalan. Bermusyawarah adalah satu kunci kesuksesan
dalam berumah tangga. Kehidupan berumah tangga adalah menyatukan dua persepsi
yang berbeda. Hal ini tentunya tidak selalu sejalan, pasti akan dijumpai
perbedaan pendapat dalam mengatur rumah tangga. Segala persoalan hidup yang
dipecahkan dengan cara musyawarah akan mendatangkan hasil yang baik dan
keputusan yang diambil akan bijaksana. Sebaliknya jika suatu persoalan rumah
tangga diputuskan secara individu tanpa melibatkan keluarga, tentu yang
dihasilkan tidak optimal, barangkali bisa saja merugikan pihak lain. Oleh
karena itulah bermusyarah sangat dianjurkan dalam agama, tidak hanya masalah
kemasyarakatan secara umum, tetapi terlebih dianjurkan dalam skala rumah tangga
sebagai pilar dari kehidupan bermasyarakat.
Ada sebuah pelajaran yang bisa kita
petik dari kehidupan rasulallah berkenaan dengan sifat bermusyawarah. Abu
huraira pernah berkata ; “aku tidak pernah menemukan seseorang yang lebih
menerapkan prinsip bermusyawarah selain rasulallah.” Karena musyawarah membawa
kepada kemaslahatan dan pemecahan yang terbaik dari sebuah persoalan, maka
rasulallah begitu menganjurkan adanya musyawarah dalam rumah tangga. Rasulallah
saw bersabda : “tidak akan pernah rugi orang yang melakukan istikharah [meminta
petunjuk kepada allah dalam menetukan sebuah sikap hidup terhadap persoalan
yang dijumpai], dan tidak akan pernah menyesal orang yang selalu menyelesaikan
persoalan dengan bermusyawarah.” (hr. Thabrani.)
ketika rasulallah selesai
menuliskan perjanjian hudaibiyah, beliau berkata kepada para sahabatnya. “wahai
para sahabatku, bangunlah dan laksanakan qurban, setelah itu bertahalullah
kalian ! Tetapi para sahabat diam dan tidak ada satupun yang melakukan perintah
rasul, sampai rasulallah mengulangi perintah itu sampai tiga kali. Namun
kondisi sahabat tetap saja bersikap diam, tidak menghiraukan perintahnya. Kemudian
nabi pulang ke rumah dan menjumpai isterinya, ummu salamah dan menceritakan
kondisi dan sikap para sahabat yang tidak menghiraukan perintahnya untuk
berqurban dan bertahallul. Lalu ummu salamah memberikan pendapat kepada
rasulallah, katanya ; “ya rasulallah apakah kamu suka terhadap sikap para
sahabatmu itu? Keluarlah ! Dan jangan bicara kepada seorangpun sebelum kamu
melaksanakan qurban dan memanggil tukang cukur untuk memangkas rambutmu! Rasulallah
pun keluar dan melaksanakan anjuran isterinya. Ketika para sahabat mengetahui
perbuatan rasul dengan menyembelih qurban dan menyukur rambutnya, serentak para
sahabat menirunya dengan menyembelih qurban dan mencukur rambut mereka.’’” (hr.
Bukhari)
Nampak jelas sekali dari ucapan dan
peristiwa yang terjadi dalam sejarah rasulallah, bahwa musyawarah dapat menciptakan suasana menjadi kondusif, tidak
mudah chaos dan dapat menentukan sasaran dakwah dengan baik. Terlebih jika hal
ini diarahkan untuk membentuk keluarga yang harmonis. Dari ilustrasi di atas, keberhasilan
dakwah nabi disebabkan pendapat yang dilontarkan oleh isteri nabi agar nabi
mempraktekan budaya berqurban terhadap diri sendiri sebelum memberikan perintah
kepada orang banyak. Nabi begitu menghargai pendapat isterinya yang didasarkan
pada prinsip musyawarah bahkan beliau mempraktekan apa yang dikatakan oleh
isterinya.
Membimbing isteri agar gemar
bermusyawarah dapat mempermudah pemecahan masalah yang terjadi dalam rumah
tangga, sekaligus dapat menyatukan persepsi yang berbeda. Dalam kiat
bermusyawarah tentunya seorang suami
harus bisa melihat latar belakang pendidikan dan wawasan isterinya. Begitu pun
sebaliknya, jika seorang isteri memiliki wawasan dan pendidikan yang lebih
tinggi, tentunya jika ia ingin berdialog dengan suaminya harus menggunakan
bahasa dan pemikiran sesuai dengan kadar latar belakang suaminya sehingga
permasalahan mudah dimengerti oleh pikiran suaminya.
Persoalan yang biasa didialogkan
dengan isteri semisal persolan pengaturan kebutuhan sandang, pangan dan papan, mengatur
neraca belanja dalam rumah tangga, pendidikan anak-anak dan masa depan mereka. Apapun
persoalan yang membutuhkan pemecahan, sebaiknya dilakukan dengan jalan
musyawarah kepada isteri. Keuntungan ini bukan saja menghasilkan bagi diri
sendiri, tetapi yang paling baik dapat membimbing isteri dan menempatkan
keberadaannya secara proforsional sebagai seorang isteri sekaligus teman
berdialog. Bahkan keuntungan dari musyawarah dapat menciptakan suasana rumah
tangga berjalan dengan baik dan harmonis.
3. Memuliakan keluaraga suami istri
Mempergauli kerabat dari
pihak suami atau isteri dengan baik. Perbuatan ini akan mendatangkan tali persahabatan
antar kedua belah pihak. Allah telah menganjurkan agar kita saling tolong
menolong dalam kebaikan dan menjaukan dari permusuhan dan dosa. Memuliakan
keluarga dan kerabat adalah satu bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Anjuran
ini selalu dipesankan oleh rasulallah mengingat banyak sekali orang yang telah
menikah dengan mudah melupakan hubungan silaturrahmi. Sehingga jalinan
persahabatan, kasih sayang dan tolong menolong menjadi putus, tidak mengenal
kerabat dekat maupun kerabat yang jauh. Jika terjadi demikian, maka tidak
tercipta keluarga yang agamis.
Membahagiakan keluarga dari pihak
isteri termasuk membahagiakan isteri, dan membahagiakan isteri adalah salah
satu tanggung jawab seorang suami. Berbakti pada mertua sama halnya berbakti
dengan ibu kandung. Karena memang orang tua isteri telah dianggap orang tua
suami, manakala akad nikah dinyatakan sah.
Banyak kejadian, seseorang yang
telah berumah tangga tidak lagi menjalin hubungan keluarga. Terkadang sampai
orang tua sendiri jarang dikunjungi. Padahal bakti seorang anak tidak akan
pernah lenyap walau disibukan dengan pekerjaan dan tidak akan pernah lekang
walau disinari teriknya matahari, kewajiban bakti kepada orang tua tetap harus
dijalin. Salah satu ketidakharmonisan keluarga adalah durhaka kepada kedua
orang tua. Secara naluri hati mereka akan sakit, manakala anak-anak mereka
tidak memperhatikannya. Padahal keridlaan allah terletak pada keridlaan orang
tua dan kemurkaan-nya juga terletak pada kemurkaan orang tua. Betapa tinggi
derajat mereka yang harus kita raih keridlaannya agar keluarga kita tercipta
sebagai keluarga yang agamis, harmonis dan bahagia.
Bahkan seandainya orang tua itu
berlainan agama tetap harus diperlakukan dengan baik. Rasulallah menegaskan
perintah ini melalui anjurannya kepada asma` binti abu bakar. Asma berkata:
قَدِمَتْ
اُمِّي وَهِي مُشْرِكَةٌ فِى عَهْدِ قُرَيْشٍ وَمُدَّتِهِمْ اِذْ عاَهَدُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ اَبِيْهاَ ، فاَسْتَفْتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ : اِنَّ اُمِّي قَدِمَتْ وَهِى راَغِبَةٌ ، قاَلَ :
نَعَمْ صِلِّي أُمَّكِ .
“ketika ibuku datang kepadaku, yang saat itu belum memeluk
islam, masih dalam ikatan kaum kafir ketika mereka mengikatkan perjanjian
dengan nabi, aku meminta penjelasan
kepada rasulallah terhadap persoalan bakti kepadanya sementara ibuku masih
memeluk agama lama, kataku ; ‘ya rasulallah, ibuku datang kepadaku sedang dia
dalam keadaan musyrik, apakah aku harus menyambutnya? Jawab rasulallah ; ya
kamu harus menyambutnya. Jalinlah hubungan yang baik dengan ibumu.’” (hr. Bukhari
dan muslim)
Rasulullah
sendiri begitu menghormati keluarga dan kerabat isterinya dengan memberikan sesuatu
yang menggembirakan hati mereka. Potret kehidupan rasulallah dilukiskan lewat
hadits yang diriwayatkan dari siti aisyah. Redaksi hadits tersebut adalah
عَنْ
عاَئِشَةَ رَضِى اللهُ عَنْهاَ قاَلَتْ : ماَغِرْتُ عَلىَ اَحَدٍ مِنْ نِساَءِ
النَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ماَغِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَماَ
رَأَيْتُهاَ ، وَلَكِنْ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُكْثِرُ ذِكْـرُهاَ ، وَرُبَّماَ ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعَـهاَ اَعْضاَءَ
ثُمَّ يَبْعَثُهاَ فِى صَداَئِقِ خَدِيْجَةَ ، فَرُبَّماَ قُلْتُ لَهُ : كَأَنَّهُ
لَمْ يَكُنْ فِى الدُّنْياَ إِلاَّ خَدِيْجَةُ ؟ فَيَقُوْل : إِنَّهاَ كاَنَتْ
وَكاَنَتْ ، وَكاَنَ لِـي مِنْـهاَ وَلَدٌ . [اخرجه البخاري ومسلم ]
“aku tak pernah cemburu dengan isteri-isteri rasulallah, kecuali
dengan khadijah. Meskipun aku tak pernah melihatnya, tetapi namanya sering aku
dengar dari rasulallah. Suatu ketika rasulallah menyembelih seekor kambing, dan
memotong-motong dagingnya, lalu memerintahkan seseorang agar membagikan daging
tersebut kepada keluarga dan kerabat khadijah. Sampai aku bertanya kepadanya :
“ ya rasul, nampaknya tidak ada wanita yang lebih melekat di hatimu selain
khadijah? Kata rasul : ‘khadijah telah begitu banyak berbuat baik kepadaku dan
dialah yang dapat memberikan aku anak.’’” (hr. Bukhari dan muslim).
Itulah
pelajaran yang diberikan oleh rasulullah kepada umatnya, bahwa berbuat baik
sebagai salah satu kebajikan yang harus ditegakan. Apalagi berkaitan dengan
keluarga isteri. Menyayangi keluarga isteri termasuk menyayangi isteri dan
inilah yang menjadi tanggung jawab seorang suami. Ilustrasi di atas hendaknya
dijadikan pijakan bagi suami dalam membina keluarga yang agamis. Berkaitan
dengan kewajiban suami dalam membimbing isteri dan keluarga ke jalan yang benar,
rasulallah mengingatkan tanggung jawab suami melalui pesannya :
اَللهَ
، اللهَ فِى النِّساَءِ ، فَإِنَّهَا اَمَانَةٌ عِنْدكُمْ ، فَمَنْ لَمْ يَأْمُرْ
اِمْرَأَتَهُ بِالصَّلاَةِ وَلَمْ يُعَلِّمْهَا فَقَدْ خَانَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ .
“bertakwalah, bertakwalah
kepada allah dalam urusan wanita ! Sesungguhnya wanita itu merupakan amanat
yang dibebankan kepada kalian. Bila seorang suami tidak mengajarkan isterinya
tentang shalat dan pengetahuan keagamaan,sesungguhnya dirinya telah berkhianat
kepada allah dan rasul-nya.”
w.4. Saling setia dan taat
Sebagai mana dimaklumi, kewajiban seorang isteri adalah mentaati suami
dalam kebaikan. Perwujudan rumah tangga yang hakiki adalah saling melaksanakan
kewajiban dan saling memberi hak antara suami isteri. Kewajiban yang mesti
dipenuhi seorang isteri adalah menaati suaminya selagi mengarah pada kebaikan. Bukan dalam
maksiat dan dosa. Karena ketaatan hanya dilaksanakan pada sesuatu yang baik. Kewajiban ini ditegaskan oleh
hadits riwayat bukhari dan muslim :
عَلَى
الْمَرْءِ اَلْمُسْلِمِ اَلسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْماَ اَحَبَّ اَوْ كَرِهَ
اِلاَّ اِنْ أُمِـرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طاَعَةَ . [رواه البخارى
والمسلم ]
“kewajiban bagi setiap
muslim adalah mendengar dan taat terhadap yang disukai dan sesuatu yang tidak
disukai, kecuali jika diperintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak ada
ketaatan terhadap perintah itu.” Hadits ini memberikan penekanan terhadap
kewajiban isteri mentaati suami, selagi dalam kebaikan. Tetapi jika suami
mengajak isteri dalam kemaksiatan, seperti mengajak isteri untuk meninggalkan
agamanya, atau menyuruh isteri untuk berbuat aniaya terhadap orang lain; mencuri,
merampok dll, maka tidak ada kwajiban yang harus ditaati oleh isteri. Jika sang
isteri sedang melakukan perbuatan yang sunah, semisal berpuasa, tiba-tiba suami
ingin menggaulinya, maka kewajiban bagi isteri adalah memenuhi ajakan suaminya
dan meninggalkan perbuatan sunnah. Jika terjadi perbenturan antara perbuatan
sunnah yang dilakukan oleh sang isteri dengan kewajibannya terhadap suami, maka
akan diambil skala prioritas, yaitu kewajiban mentaati suami sebagai yang
diisyaratkan dalam hadits. Tetapi menurut penulis, jika terjadi perbenturan
dalam kebajikan yang dilakukan oleh seorang isteri, sebaiknya suami menyadari
apa yang dilakukan oleh isteri. Lebih baik ia memberikan motivasi kepada isterinya
untuk berbuat kebajikan sebanyak mungkin dalam meningkatkan kwalitas ibadahnya.
Barangkali bagi suami yang ingin memenuhi hajatnya, bisa menunda sampai
isterinya menyelesaikan kebajikan. Dengan demikian dirinya sebagai suami
mendapatkan keuntungan ganda, yaitu dapat memberikan motivasi ibadah isterinya
dan dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya secara baik.
Untuk
menjaga keutuhan rumah tangga, diperlukan sikap saling memahami. Wanita
diharuskan mematuhi suami bukan berarti melecehkan keberadaannya, tidak berarti
mengekang kebebasannya, dan bukan menempatkan wanita pada kedudukan inferior. Tetapi
memang sudah menjadi konsekwensi sebuah perkawinan bahwa kedua pasangan harus
mengetahui hak dan kewajiban mereka. Seorang suami harus menjalankan kewajibannya
sebagai kepala rumah tangga. Ia juga harus menerima hak dari isterinya dengan
mentaati keiinginannya yang baik. Seorang isteri harus menjalankan kewajiban
untuk membahagiakan suami, menjaga harta dan kehormatannya. Juga seorang isteri
berhak menuntut hak dari suaminya seperti mendapatkan nafkah yang layak, baik
lahir maupun batin, perlu disayangi dan dicintai, dan hal lainnya yang dapat
membahagiakan seoarang isteri. Jika hak dan kewajiban dijalankan secara
seimbang oleh suami isteri, maka kehidupan rumah tangga akan berjalan secara
harmonis, banyak mendatangkan keuntungan dan tercipta suasana damai dalam rumah
tangga.
Kesetiaan
merupakan pondasi yang kuat dalam rumah tangga. Bagi seorang isteri hendaknya
menerapkan sikap setia kepada suaminya. Kehidupan rumah tangga yang mengalami
pasang surut, sering dihempas gelombang laut yang dahsyat, hingga membuat
goncangan yang hebat dalam kehidupan rumah tangga. Kesetiaan ini mesti
diterapkan oleh kedua pasangan, terutama pada seorang isteri. Barangkali
sewaktu suami sedang jaya, kaya, kesetiaan merupakan suatu hal yang wajar. Tetapi
di saat musibah menimpa suami, kesetiaan menjadi keharusan yang mesti
diterapkan dalam jiwa seorang isteri untuk membahagiakan suaminya. Bisa saja
semula suami kaya, lalu datang musibah, pekerjaan mengalami kendala sehingga
perusahaan yang dipegang mengalami kepailitan, hutang menumpuk, hingga akhirnya
menerpa rumah tangga sampai mendatangkan kemiskinan. Di sini jiwa kesetiaan
isteri begitu diperlukan oleh suami dan harus menjadi tanggung jawab sang
isteri untuk memberikan dorongan kepada suami agar tabah mengalami rintangan
hidup yang mesti mereka jalani dalam menggapai kehidupan yang baik.
Kesetiaan isteri di saat demikian
akan menjadi penawar kesedihan dan penghibur yang mujarab bagi kondisi suami. Kegundahan
akan berubah menjadi kebahagiaan diri dengan kesetiaan isteri. Kesabaran yang
mereka terapkan dalam mengarungi kehidupan akan mendatangkan hikmah yang begitu
besar. Di sisi allah mereka mendapatkan ganjaran pahala yang tidak terkirakan, apalagi
surga telah dijanjikan oleh allah bagi orang yang sabar terhadap musibah yang
terjadi.
Tanggung jawab isteri dalam mentaati
suami bukan hanya di saat suami jaya, makmur dan kaya. Tetapi di saat suami
miskin, pailit seorang isteri lebih ditekankan menerapkan sikap setianya. Meskipun
pemberian nafkah menjadi tanggung jawab suami, namun di saat suami miskin, sikap saling membantu dari sang
isteri merupakan kebajikan yang musti diterapkan. Sang isteri bisa saja
memberikan sedekah kepada suaminya yang miskin. Islam sangat menganjurkan
sedekah kepada kerabat yang miskin, karena hal demikian akan mendapatkan dua
pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala kekerabatan. Persoalan ini
diilustrasikan lewat kisah zainab, isteri abdullah bin masud melalui riwayat
bukhari dan muslim :
قاَلَتْ
زَيْنَبُ اَلثَّقَفِيَّة إِمْـرَأَةُ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِى اللهُ
عَنْهُماَ . قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقْنَ
ياَمَعْشَرَ النِّساَءِ وَلَوْ مِنْ حُلِّيِّكُنَّ ، قاَلَتْ : فَرَجَعْتُ إِلَى
عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ ، فَقُلْتُ : إِنَّكَ رَجُلٌ خَفِيْفٌ ذاَتُ الْيَدِ
، وَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ اَمَرَناَ
بِالصَّدَقَةِ ، فَأْتِهِ فَاسْأَلْهُ ، فَإِنْ كاَنَ ذَلِكَ يُجْـزِي عَنِّي ،
وَاِلاَّ صَرَّفَتُهاَ اِلَى غَيْرِكُمْ . فَقاَلَ عَبْدُ اللهِ : اِئْتِـهِ
اَنْتِ . فاَنْطَلَقْتُ ، فَإِذاَ إِمْرَأَةٌ مِنَ اْلأَنْصاَرِ بِباَبِ رَسوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حاَجَتُهاَ حاَجَتِي. وَكاَنَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ اُلْقِيَتْ عَلَيْهِ الْمَهاَبَّةُ ،
فَخَرَجَ عَلَيْناَ بِلاَلْ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فَقُلْناَ لَـهُ : اِئْتِ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ اَنَّ
اِمْرَأَتَيْنِ باِلْباَبِ يَسْأَلاَنَكَ : أَتُجْـزَى صَدَ قَةُ عَنْهُماَ عَلَى
أَزْواَجِهِماَ ، وَعَلَى أَيْتَامِ حُجُوْرِهاَ ، وَلاَ تُخْبِرُهُ مَنْ نَحْنُ .
قَالَـْت : فَدَخَلَ بِلاَلٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ ، فَقاَلَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : مَنْ هُمـاَ؟ فَقاَلَ : أمْرَأَةُ مِنَ اْلأَنْصاَرِ وَزَيْنَبِ .
فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ايُّ اَاـزَيّاَبِ .
قاَلَ : اِمْرَأَةُ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْد ، فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهاَ اَجْرَانِ ك اَجْرُالقَرَابَةِ وَاَجْرُ
الصَّدَقَةِ . [رواه البخاري ومسلم ]
dikisahkan
wanita bernama zainab, isteri abdullah bin masud yang mendengar anjuran
rasulallah agar bersedekah dengan perhiasan atau harta yang dimiliki. Lalu
zainab pulang dan menjumpai suaminya yang miskin. Ia berkata : “wahai suamiku
aku mendengar rasulallah agar memerintahkan kaum wanita bersedekah dengan harta
yang dimiliki, bolehkah aku bersedekah kepadamu?jika boleh aku akan sedekahkan
kepadamu, tetapi jika tidak boleh, akan aku sedekahkan kepada orang lain. Tanyakanlah
masalah ini kepada rasulallah! Lalu abdullah bin masud menjawab ; “tanyakan
saja kamu sendiri kepada rasulallah? Zainab pun pergi menemui rasulallah, tetapi
di pintu rumahnya ia menjumpai wanita dari anshar yang ingin menanyakan persoalan
yang sama dihadapi oleh zainab. Saat itu
rasulallah sedang terganggu kesehatannya, sehingga tidak dapat menjumpai mereka.
Tetapi rasulallah mewakilkan kepad bilal. Selanjutnya bilal keluar dan aku
tanyakan persoalan yang kami hadapi; “wahai bilal, beritahukan kepada rasul ada
dua orang wanita yang menanyakan persoalan apakah wanita dibolehkan bersedekah
kepada suaminya atau anak yatim yang diasuh dirumahnya? Bilal menyampaikan
persoalan tersebut kepada rasulallah. Beliau bertanya : “siapa kedua wanita itu?
Satu dari anshar dan satu lagi zainab. Kembali rasul bertanya; ‘ zainab yang
mana? Jawab bilal ; ‘zainab isteri abdullah bin masud. Setelah itu
rasul berkata: ‘mereka mendapatkan dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala
sedekah.’’” (hadits riwayat bukhari dan muslim)
Rasulallah saw
melukiskan sebuah kemuliaan seorang isteri yang mentaati suaminya dengan
imbalan yang begitu mulia. Pahala yang didapat dari bakti kepada seorang suami
disejajarkan dengan berjihad di medan perang. Ternyata bagi isteri tidak perlu
ikut susah berjihad di medan perang jika ingin mendapatkan kemuliaan di sisi
allah. Tetapi mereka diberikan keringanan dengan hanya berbakti pada suami, mereka
sudah mendapatkan kemuliaan di mata allah seperti para lelaki yang berjuang di
medan perang. Ada seorang wanita datang kepada rasulallah mengutarakan
kegundahannya yang ingin mendapatkan pahala jihad seperti kaum lelaki yang
diberikan kesempatan berjuang di medan perang. Hal ini
diceritakan dalam sebuah hadits.
جَاءَ تْ اِمْرَأَةٌ اِلَى
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ : ياَرَسُوْلَ اللهِ ،
أَنا واَفِدَةُ النِّساَءِ اِلَيْكَ . هَـذاَ الْجِهاَدُ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى
الرِّجاَلِ . فَإِنْ يُصِيْبُواْ أَجَـرُواْ ، وَإِنْ قُتِلُواْ كاَنُوا اَحْيـاَءً
عِنْدَ رَبِّـهِمْ يُرْزَقُوْنَ. وَنَحْنُ مَعاَشِرَ النِّساَءِ نَقُوْمُ
عَلَيْهِمْ ، فَماَ لَناَ مِنْ ذَلِكَ ؟ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَبْلِغِي مَنْ لَقَيْتَ مِنَ النِّسـاَءِ : اَنَّ طاَعَةَ
الْمَرْأَةِ اَلزَّوْجَ وَاعْتِراَفَهاَ بِحَقِّهِ يَعْـدِلُ ذَلِكَ ، وَقَلِيْلٌ
مِنْكُنَّ مِنْ يَفْعَـلُهُ .
Ada seorang wanita datang kepada rasulallah saw. Ia berkata : “wahai
rasulallah, aku adalah utusan dari wanita-wanita yang ditugaskan untuk datang
kepadamu. Sesungguhnya allah mewajibkan jihad kepada laki-laki. Bila mereka
menang mendapatkan pahala dan hidup dengan kemuliaan. Sedangkan bila mereka
gugur, di mata allah mereka tetap hidup dan mendapatkan rizki dari allah. Sementara kami kaum wanita, hanya melayani
kebutuhan mereka, tanpa mendapatkan balasan seperti kaum lelaki. Lalu
rasulallah menjawab ; ‘sampaikan pada kaum wanita yang kamu jumpai, bahwa taat
dan patuh kepada suami, menjaga kehormatan, dan melaksanakan kewajibannya, mereka
akan mendapatkan balasan pahala yang sama dengan pahala suami yang berjihad di
jalan allah. Hanya saja sedikit sekali wanita yang melakukannya.’’”
Kedua hadist di
atas menggambarkan sebuah cerminan kehidupan rumah tangga yang didasari dengan
mentaati dan setia kepada suami. Saling membantu dalam menggapai mahligai rumah
tangga yang bahagia merupakan pilar yang kokoh. Isteri yang membantu suaminya
yang kurang mampu, mendapatkan keuntungan yang besar, yaitu mendapatkan pahala
dan merasakan ketentaraman rumah tangga. Pahala apapun akan didapati oleh
seorang isteri yang taat kepada suami, bahkan pahala jihad. Kalau kaum lelaki
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan pahala jihad, tetapi bagi wanita, ia
cukup menjalankan tugasnya untuk membahagiakan suaminya dan selalu setia kepada
pasangannya sudah mendapatkan pahala jihad.
Sikap seorang
isteri dalam melaksanakan tugas untuk membahagiakan suami harus berlapang dada,
apalagi ketika kondisi suami miskin. Diharapkan ia menyadari kekurangan yang
saa itu barangkali ada pada suaminya. Jangan kemiskinan suaminya dijadikan
alasan untuk tidak melaksanakan tanggung jawabnya. Segala kekurangan yang ada
pada suaminya seperti harta, minimnya pendidikan suami, dan tidak memiliki
kedudukan yang tinggi dalam jabatan tidak menjadikan sifat arogansi seorang
isteri. Ia tetap mentaati suaminya dan setia menghadapi cobaan hidup secara
bersama-sama. Sikap arogansi tidak jarang meracuni kehidupan rumah tangga dan
membuat kehidupan retak, sehingga terjadi perceraian yang merugikan semua pihak
dalam keluarga.
Sebagai seorang isteri
yang solehah, harus menghindari sifat arogansi. Karena kehidupan agamis tidak
mungkin tercipta jika didasari sipfat egios dalam rumah tangga. Keharmnoisan
dan kebahagiaan keluarga tidak bisa diraih dengan saling membanggakan diri. Hanya
sifat saling memahami dan saling setia kedua pasangan yang dapat mengubur sifat
arogansi dan dapat memupuk benih kasing sayang sehingga tercipta bahtera
kehidupan yang baik.v
u 5. Menjaga kehormatan dan rahasia
Menjaga kehormatan suami dan rumah tangganya
adalah suatu kewajiban bagi seorang isteri, baik di kala suami berada di rumah
atau di saat suami pekergi bekerja mencari nafkah. Tugas ini merupakan satu
bukti komitmen pernikahan, antara suami isteri saling menjaga kehormatan rumah
tangganya. Jika hal ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik akan tercipta
kondisi rumah tangga yang harmonis, jauh dari fitnah, terhindar dari
percekcokan dan tumbuh nuansa agamis dalam lingkungan keluarga. Sebaliknya jika
sang isteri tidak menjaga kehormatan suaminya, entah itu nama baik suami, keluarga,
harta, kedudukan dan rumah tangganya, maka keretakan rumah tangga akan terjadi
sehingga timbul kehancuran keluarga, kehidupan menjadi tidak harmonis, percekcokan
sering terjadi ketimbang nuansa damai dalam lingkungan keluarga. Oleh karena
itu untuk menciptakan nuansa keimanan, kedamaian dalam keluarga dibutuhkan
sosok isteri yang shalehah yang dapat menjaga keutuhan keluarga dengan baik.
Allah telah memberikan kriteria dari wanita yang shalehah dalam surat an-nur
ayat 30,
قُلْ
لِلمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصاَرِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ،
ذَلِكَ أَزْكَـَى لَهُمْ ، إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِماَ يَصْنَعُوْنَ v وَقُلْ لِلْمُؤْمِناَتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصاَرِهِـنَّ وَيَحْفَظْـنَ فُرُوْجَهُـنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ
زِيْنَتَهُـنَّ إِلاَّ ماَظَهَـرَ مِنْهاَ ، وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِـنَّ عَلَى
جُيُوْبِـِهْنَّ ، وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَـهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ
اَبَآئِهِنَّ أَوْ اَبَـآءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ اَبْنَـآئِهِنَّ أَوْاَبْناَءِ
بُعُوْلَتِـهِنَّ أَوْاِخْوَانِـهِنَّ أَوْبَنِى أَخَوَاتِـهِنَّ أَوْنِسآئِهِنَّ
اَوْماَمَلَكَتْ أَيْمَنُـهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِى اْلإِرْبَةِ
مِنَ الرِّجاَلِ أَوِالطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُواْ عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسآءِ ، وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِـنَّ لِيُعْلَمَ ماَيُخْفِيْنَ مِنْ
زِيْنَتِهِنَّ , وَتُوْبُوآ اِلَى اللهِ جَمِيْعاً اَيُّهاَ الْمُؤْمِنُوْنَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ v
“katakanlah kepada wanita yang beriman; ‘hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan jangan mereka menampakan
perhiasannnya, kecuali yang [biasa] nampak darinya. Dan hendaklah mereka
menutup kain kudung ke dadanya dan jangan menampakan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
memiliki keinginan [terhadap wanita] atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.”
Umar
bin khattab memberikan gambaran tentang isteri shalehah, di antaranya; bila
dipandang ia menyenangkan, bila diperintah ia melaksanakan dan bila suami tidak
ada di rumah ia menjaga kehormatan dirinya. Istri yang dapat menjaga kehormatan
dirinya di saat sang suami tidak berada di sampingnya, akan dipelihara oleh
allah swt. Hal ini dijelaskan dalam firman-nya yang artinya : “..oleh sebab
itu wanita yang shalehah ialah wanita yang taat kepada allah lagi dapat
memeliharan dirinya ketika suami tidak berada di rumahnya. Karenanya allah
telah memelihara mereka.” Ibnu abbas memberikan penafsiran terhadap ayat di
atas bahwa yang dimaksudkan adalah wanita-wanita yang taat kepada suaminya
dengan menjaga diri dan harta suaminya di saat sang suami tidak berada di
dekatnya dan wanita yang dijaga adalah wanita yang didipelihara oleh allah dari
gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Seorang isteri yang dapat menjaga kehormatan,
baik itu kehormatan diri dari gangguan orang yang jahil maupun kehormatan
menjaga harta suami dianggap sebagai tanda-tanda kebahagiaan seseorang dalam
membina mahligai rumah tangga. Rasulallah mengatakan bahwa tanda-tanda
kebahagiaan seseorang ada tiga dan tanda-tanda kesengsaraan seseorang juga ada
tiga; tanda kebahagiaan itu adalah isteri yang shaleh, tempat tinggal yang
nyaman dan kendaraan yang bagus. Sedangkan tanda-tanda kesengsaraan seseorang
adalah isteri yang berperangai buruk, tanah yang gersang dan kendaraan yang
jelek. Inilah penghargaan yang diberikan oleh allah kepada wanita yang dapat
menjaga kehormatan diri dan suaminya. Karena itulah hendaknya setiap wanita
mampu untuk menjadi isteri yang salehah sehingga pembentukan keluarga sakinah, mawaddah
dan rahmah tercapai dengan baik.
Wanita
akan dimintakan pertanggung jawabannya terhadap sesuatu yang dipimpin. Amanat
yang paling besar adalah menjaga rumah suami, kehormatan dan harta miliknya. Kebahagiaan
akan tercapai jika amanat ini dilaksanakkan dengan baik. Tetapi jika amanat ini
disia-siakan maka kehancuran keluarga akan dialami. Rasulallah pernah bersabda :
اَلآ كُلُّكُمْ راَعٍ ،
وَكُلُّكُمْ راَعٍ مَسْؤُوْلٌ عَنْ راَعِيَّتِهِ . فاَلأَمِيْرُ الَّذِى عَلَى
النَّاسِ راَعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ راَعِيَّتِهِ ، واَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
اَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهاَ وَلَدِهِ وَهِى مَسْؤُوْلَةٌ عَنْهُمْ ، وَالْعَبْـدُ رَاعٍ عَلَى ماَلِ
سَيِّـدِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَاعِيَّتِـهِ . [رواه البخارى ومسلم]
“ketahuilah!
Setiap kalian adalah pemimpin dan pasti akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap yang dipimpin di hadapan allah. Seorang penguasa adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami
adalah pemimpin dan ia akan dimintakan pertanggung jawabannya tentang
keluarganya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya
dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang hamba adalah pemimpin atas
harta tuannya yang dipercayai kepadanya dan akan diminta pertanggung jawaban
atas penjagaannya. “(hr. Bukhari muslim)
Seorang isteri dilarang menceritakan rahasia
rumah tangganya apalagi berkenaan dengan hubungan seksual dengan suaminya. Sebab
hal itu akan mendatangkan bahaya dalam rumah tangga. Kewibawaan rumah tangga
tidak lagi terjaga, justru yang nampak hanya kerapuhan dan kekotoran yang
menghiasi bingkai kehidupannya. Karena etika-moral kehidupan telah dilanggar
dengan menceritakan rahasia-rahasia yang sangat tabu dalam kehidupan rumah
tangga. Islam sangat mengutuk suami isteri yang menceritakan kondisi rumah
tangganya yang tidak layak untuk diketahui secara umum. Karena perbuatan itu
sama saja menguak aib sendiri dan hal itu termasuk perbuatan yang trecela
meskipun rahasianya sendiri.
Rasulallah mencap suami isteri yang
menceritakan rumah tangga mereka sebagai manusia yang tercela dan buruk
perangai. Ini diungkapkan lewat hadits riwayat dari abi sa’id al khudriy, bahwa
rasulallah saw bersabda :
شَـرُّ
النَّاسِ مَنْزِلَـةً عِنْـدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيـاَمَةِ اَلـرَّجُلُ يُفْضِي
اِلَـى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِي اِلَيْـهِ ثُمَّ يُنْشِرْ شَـرَّهُماَ
”seburuk-buruk
kedudukan manusia dihadapan allah pada hari kiamat adalah seorang suami yang
membuka rahasia kepada isterinya dan isteri membuka rahasia kepada suaminya, kemudian
menceritakannya kepada orang lain. (hr. Abu daud )
Membuka
aib sendiri apalagi persoalan hubungan seksual suami isteri kepada orang lain
diperumpakan seperti setan laki-laki dan setan perempuan yang bertemu, lalu
melakukan perzinahan dengan ditonton orang banyak. Dengan demikian membuka
rahasia rumah tangga yang tidak layak untuk diketahui oleh secara umum
tergolong perbuatan tercela dan melanggat etika-moral kehidupan rumah tangga. Kehidupan
rumah tangga yang seharusnya mencerminkan kesakralan telah kehilangan harga
dirinya. Perbuatan ini akan berakibat serius pada anak-anak baik dalam
pembentukan akhlak mereka atau identitasnya. Oleh karena itu sebagai suami yang
shaleh dan isteri yang shalehah sudah seharusnya menjauhkan perbuatan tercela
dan terkutuk ini.
Rintangan dan kendala yang dijumpai dalam
mengerungi bahtera kehidupan suatu hal yang wajar. Terkadang sifat suami tidak
sesuai dengan isteri atau sebaliknya, keinginan suami tidak sama dengan isteri,
atau pandangan mereka tentang suatu persoalan tidak seragam. Semua itu kerikil yang mesti disingkirkan
dari jalan kehidupan mereka. Sikap dan pandangan harus dicarikan jalan keluar, disamakan dalam mengatur
dan menata rumah tangga mereka. Rangkaian bunga meskipun beraneka ragam warna, nampak
indah dipandang jika dirangkai dan ditata. Begitu juga sikap dan pandangan yang
berbeda antara suami isteri harus ditata dan diatur sedemikian rupa hingga elok
dipandang. Jangan biarkan perbedaan itu berjalan sendiri, karena akan
menjadikan perpencahan keluarga. Bagai tananam yang beraneka ragam warna
dibiarkan menjalar ke berbagai tempat tanpa ditata akan menjadi tanaman liar
yang tidak indah dipandang mata.
Kelembutan dan
keramahan isteri biasanya lebih dapat mengontrol emosinya. Keistimewaan ini
menjadi modal dalam membina dan menjaga kehormatan suami dan anak-anaknya. Seorang
isteri yang baik adalah isteri yang dapat membahagiakan suaminya dikala
kesengsaraan menerpa mereka, menjadi obat pewar yang mujarab di saat
kegelisahan melanda suaminya, dan menjadi solusi di kala berbagai masalah
menumpuk di benak suaminya. Itulah ciri-ciri isteri yang shalehah, sebagaimana
dilukiskan sebuah hadits riwayat dari abu daud dan tirmidzi;
قِيْلَ
لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَيُّ النِساَءِ خَيْرٌ ؟
قاَلَ : اَلَّتِي تَسَـرَّهُ اِذاَ نَظَـرَ ، وَتُطِيْعُـهُ اِذَا اَمَـرَ ، وَلاَ
تُخاَلِفُهُ فِـى نَفْسِهاَ وَلاَ ماَلِهِ بِماَ يُكْـرَهُ .
“
rasulullah pernah ditanya siapakah isteri yang terbaik? Jawab rasul ; ‘seorang
isteri yang 1mampu membahagiakan suami pada saat suami melihatnya, patuh kepada
perintah suami, dapat menjaga diri dan harta suami dari sesuatu yang dibenci
oleh suami.” (hr. Abu daud dan tirmidzi) .
Bagi
seorang isteri hendaknya tidak mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumah yang
bukan mahramnya di saat suami tidak ada di rumah atau orang yang dibenci oleh
suaminya meskipun saat itu suami berada di rumah. Larangan ini telah dijelaskan
dalam firman allah swt yang artinya :
يَـآاَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَتَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتـِكُـْم حَتَّى
تَسْتَأْنِـسُـوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى اَهْـلِـهََا ، ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَـذَكَّـُرْونَ . فَإِنْ لَمْ تَجِـدُوْا فِيْـهَا اَحَدًا فَلاَ
تَدْخُلُـوْهَا حَـتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ ، وَاِنْ قِيْلَ َلكُمْ ارْجِـعُوْا
فَارْجِعُوْا هُوَ اَزْكَى لَكُمْ ، وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِـيْرٌ v
“hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin
dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu
selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah
kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: ‘kembalilah!’
maka hendaknya kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan allah maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (qs. An-nur : 27-28)
Ayat ini salah satu etika dalam
bergaul di mana bagi seorang muslim yang ingin bertamu kepada seseorang jika
dirinya tidak diizinkan untuk memasuki rumah, hendaknya jangan masuk, karena
secara tidak langsung pemiilik rumah tidak mengizinkan untuk masuk. Oleh karena
itu sebagai etika bagi orang yang ingin bertamu diharuskan mengucapkan salam
sebanyak tiga kali. Seandainya tidak dijumpai dari jawaban itu, berarti dirinya
tidak diperkenankan untuk memasuki rumah. Apakah sang pemilik rumah berada di
dalamnya atau memang tidak ada, sebagai tanda diperkenankannya untuk bertamu
adalah dengan jawaban salam. Etika ini berlaku untuk umum bagi pasangan suami
isteri untuk menjaga kehormatan dan wibawa rumah tangga.
Sebagai seorang
isteri yang shalehah harus menjaga kehormatan diri, suami, keluarga dan wibawa
rumah tangganya. Jika suami dan anak-anaknya pergi sebaiknya ia tidak
mengizinkan orang yang bukan mahramnya untuk memasuki rumahnya. Hal ini untuk
menjaga kehormatan diri dan suami serta kehormatan rumah tangganya. Dikhawatirkan
jika perbuatan tersebut dilakukan akan terjadi fitnah. Seorang isteri sebaiknya
tidak keluar rumah jika suami tidak mengizinkannya. Apabila kebutuhannya sangat
mendesak seperti menjenguk orang tuanya yang sedang sakit keras, diharapkan
sang suami memahami hajat seoarang isteri, meskipun hak seorang isteri
tergantung suaminya, tetapi di sisi lain mereka juga berhak mengunjungi kedua
orang tuanya sebagai tanda baktinya kepada kedua orang tua, terutama di saat
mereka sedang dibutuhkan kehadiran anaknya.
Bagi seorang suami
sebaiknya memaklumi keperluan yang dibutuhkan oleh isteri sehingga mengharuskan
dirinya untuk keluar rumah. Misalnya keperluan berbelanja untuk kebutuhan
sehari-hari keluarganya, atau pergi menghadiri pengajian guna menimba ilmu
pengetahuan, dll. Semua itu merupakan alasan yang diharapkan bagi suami untuk
dapat mengizinkan isterinya keluar rumah untuk melaksanakan keperluannya. Tetapi
diharapkan bagi sang isteri jika keluar dari rumah agar tidak berdandan dengan
mode jahiliyah, memakai busana yang transparan, berdandan yang mengundang
birahi lelaki, seperti menggunakan parfum yang semerbak dan berjalan lenggak
lenggok di hadapan lelaki. Wanita yang tidak menjaga dari godaan lelaki berada
dalam kemurkaan allah. Hal ini diperingatkan oleh rasulallah melalui riwayat
dari salman al farisy, “wanita mana saja yang bersolek dan memakai parfum
yang mengundang birahi lelaki, lalu keluar rumah tanpa seizin suami, sesungguhnya
dirinya berada dalam kemurkaan allah sampai ia kembali ke rumah.” (hr. Nasa`i)
0 komentar:
Posting Komentar