Sejalan
dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak
sekalin perubahan-perubahan yang terjadi, pergeseran kultur lisan kepada kultur
tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta surat, sebagai
bukti autentik saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa
hilang dengan sebab kematian, manusia juga dapat mengalami kelupaan dan
kesilapan.
A. Pencatatan Perkawinan
Tuntutan
perkembangan zaman, merubah suatu hukum dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan
yang pada mulanya Syari’at Islam itu tidak mengatur secara kongkret tentang
adanya suatu pencatatan perkawinan namun hukum Islam di Indonesia mengaturnya.
Pencatatan perekawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam
masyarakat agar martabat dan kesucian suatu perkawinan itu terlindungi. Melalui
pencatatan perkawinan tersebut yakni yang dibuktikan oleh akta nikah, apabila
terjadi suatu perselisihan diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung
jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing. Karena melalui akta nikah, suami isteri memiliki
bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Perkawinan
selain merupakan akad yang suci, ia juga mengandung hubungan keperdataan. Hal
tersebut dapat kita lihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan,pasal 2 ayat 2 dimyatakan bahwa: “ tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “
Didalam
PP. NO.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UUD perkawinan pasal 3 dinyatakan :
(1) setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat
ditempat pewrkawinan yamh akan dilangsungkan
(2) Pemberitahuan tersebut
dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan
(3) Pengecualian terhadap
jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alas an yang penting,
diberikan oleh camat (atas nama) bupati daerah setempat
Dengan
pernyataan diatas Kompilasi Islam menjelaskan dalam pasal 5 akan halnya tentang
pencatatan perkawinan yakni:
(1) Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap Perkawinan harus di catat.
(2) Pencatatan Perkawinan
tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Adapun
teknis dari pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6. ayat :
(1) untuk memenuhi
ketentuan dakam pasal 5 , setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah
(2) perkawinan yang
dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum
Memperhatikan
ketentuan-ketentuan hokum diatas yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dapat
dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah Syarat Administratif. Pencatatan
diatur dikarenakan tanpa pencatatan suatu perkawinan tidak mempunyai ketentuan
hukum. Akibatnya apabila salah satu pihak melalaikan kewajiban nya maka pihak
lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang
sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.
Selain
itu, Pencatatan juga memiliki manfaat preventif, yakni untuk menanggulangi agar
tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukum dan syarat-syarat perkawinan,
baik menurut hukum agama dan kepercayaanya itu, maupun menurut
perundang-undangan.
Adapun
tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan sesuai urutannya sebagai
berikut :
1. Pemberitahuan
Dalam
pasal 5 disebutkan bahwa tata cara pemberitahuan rencana perkawina itu dapat
dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang orang
tua atau wakilnya dan pemberitahuan tersebut ditentukan paling kambat 10 hari
sebelum perkawinan dilangsungkan. Adapun hal yang diberitahukan yakni nama,
umur, agama, pekerjaan, alamat, dan apabila salah satu atau keduanya pernah
kawin, maka disebutkan pula nama isteri atau suaminya.
2. Penelitian
Dalam
Hal ini, Pegawai Pencatat Nikah harus meneliti asal usul kedua mempelai
termasuk status perkawinannya masing-masing. Sebagaimana yang tertera dalam
Pasal 6; ayat 1
"Pegawai
Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,
meneliti apakah syarat-sayart perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang."
"Selain
penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Pencatat nikah
juga diwajibkan melakukan penelitian sebagaimana dalam pasal 6 ayt (2) terhadap
:
1. Kutipan Akta Kelahiran
atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau
surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan
asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat
dengan itu;
2. Keterangan mengenai
nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon
mempelai;
3. Izin tertulis/izin
Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
4. Izin Pengadilan sebagi
dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami
yang masih mempunyai isteri;
5. Dispensasi
Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
6. Izin kematian isteri
atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian,
bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
7. Izin tertulis dari
Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah satu calon
mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
8. Surat kuasa otentik
atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alas an
yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Kemudian
hasil penelitiuan dari Pegawai Pencatatan kemudian ditulis dalam suatu daftar
yang diperuntukan untuk itu sebagaimana disebutkan pada pasal 7 ayat 1. Akan
tetapi apabila hasil dari penelitiannya menunjukkan adanya yang halangaan
perkawinan sebagai dimaksud Undang-Undang dan belum terpenuhi persyaratannya
seperti di atur dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah, Pegawai
memberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau wakilnya hal
ini diatur dalam pasal 7 ayat 1.
3. Pengumuman
Setelah
masalah tersebut selesai maka Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman
tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinannya dengan cara
menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor
Pencatatan Perkawinan, ditempel pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum dan pengumuman tersebut harus ditandatangani oleh Pegawai
Pencatat hal ini dicantukan dalam pasal 8, kemudian mengenai isi yang dimuat
dalam pengumuman itu menurut pasal 9 peraturan pemerintah tersebut berbunyi :
a) Nama, umur, agama/
kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman Dari calon mempelai, apbila salah seorang
atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan (atau) suami mereka
terlebih dahulu
b) Hari, tanggal, jam dan
tempat perkawinan akan dilangsungkan
Kemudian
jika syarat-syarat telah terpenuhi seperti terter diatas maka pernikahan dapat
dilaksanakan sebagaimana semestinya.
Adapun
tujuan pengumuman tersebut, bertujuan agar masyarakat umum mengetahui siapakah
orang-orang yang hendak menikah. Selanjutnya dengan adanya pengumuman itu
apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan yang hendak dilangsungkan
maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada kantor pencatatan
nikah.
B. Dasar-dasar
Pencatatan perkawinan
Perkawinan
selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah lembaga yang memberikan
legimitasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam
sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman sebuah keluarga ditentukan salah
satunya adalah bahwa pernikahan itu harus sesuai dengan dengan tuntutan syariat
Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain yang mengatur bahwa
pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan Agama/Catatan Sipil.
Pencacatan
perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu
merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh
hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
Dalam
hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dalam administrasi Negara
mengakibatkan perempuan tidak memiliki kekuatan hukum dalam hak status
pengasuhan anak, hak waris, dan hak-hak lainnya sebagai istri yang pas,
akhirnya sangat merugikan pihak perempuan
Pada
kesempatan ini perlu kami sampaikan beberapa dasar hukum mengenai pencacatan
perkawinan/pernikahan, antara lain:
v Adanya undang-undang tentang no 22 tahun 1946
Mengatakan:
Nikah
yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh
Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang
ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam
selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat
Nikah.
Pasal
ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan rujuk menurut
agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.
Dalam
Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut pada dengan kependudukan
harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi
pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga jangan sampai ada kekecauan.
v Adanya Undang-undang No I tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 2 Ayat 2 menyatakan:
"Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
C. Manfaat
Adanya Pencatatan Dalam Perkawinan
Ada beberapa manfaat
pencatatan pernikahan:
a. Mendapat perlindungan
hukum
Bayangkan, misalnya
terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang istri mengadu kepada
pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan
kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu
menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
b. Memudahkan urusan
perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
Akta nikah akan
membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan
hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya
yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
c. Legalitas formal
pernikahan di hadapan hukum
Pernikahan yang
dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas
Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara
agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal
menurut hukum.
d. Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang
dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya
pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri hendak
memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan yang
menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan
Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah
dahulu.
D. Akta
Nikah
Setelah
pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan ditempel dan tidak ada keberatan
dari pihak yang terkait dengan rencana calon mempelai, maka perkawinan dapat
dilangsungkan. Adapun ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10 (PP No.
9/1975).
Pada
saat akan dilangsungkannya perkawinan, Pegawai Pencatat telah menyiapkan akta
nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukannya,
seperti yang diatur dalam pasal 12 (PP. 9/1975) , Selain hal-hal tersebut,
dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yaitu teks yang
dibaca suami setelah akad nikah sebagai perjanjian kesetiaannya terhadap
isteri. Setelah dilangsungkan akad nikah, kedua mempelai menandatangani Akta
Nikah yang sudah dibuat dalam rangkap 2 helai, pertama disimpan pada panitra
pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berbeda dan
salinannya yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan
yang berlaku, kemudian diberikan kepada mempelai.
A.
Kesimpulan
1. Perkawinan adalah akad yang
sangat kuat untuk menaati perinta Allah dan melaksanakanyya merupakan ibadah
2. Adapun tata cara atau
prosedur melaksanakan perkawinan sesuai urutannya sebagai berikut :
a. Pemberitahuan
b. Penelitian
c. Pengumuman
d. Pelaksanaan
3. Adapun beberapa manfaat
pencatatan pernikahan:
a. Mendapat perlindungan
hukum
b. Memudahkan urusan
perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
c. Legalitas formal
pernikahan di hadapan hukum
d. Terjamin keamanannya
4. Akta Nikah adalah suatu
buku bukti atas berlangsungnya suatu pernikahan
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin,
Amir. 2000. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Gema Insani
Press
Rafiq,
Ahnad.1995. Hukum Islam Di Indonesia. Cetakan keenam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum
Islam. 2009. Cetakan ketiga. Bandung: PT. Citra Umbang
0 komentar:
Posting Komentar