Minggu, 28 Agustus 2011

HISAB RUKYAT


HISAB – RUKYAT
(Refleksi Beda Ied Fithry 1432 H)
 ( Arif Rochman, S.Ag. M.Si )

Persoalan Hisab rukyat yang dikaitkan dengan penentuan awal bulan qamariyah sangat penting bagi umat Islam karena terkait dg berbagai momen penting umat Islam, yakni ibadah mahdhah, terutama Ibadah puasa, dan idul fithry serta haji dan idul adha.
Persoalan ini sebenarnya merupakan masalah Klasik, tetapi selalu Aktual. Klasik karena  sejak awal Islam masalah ini sudah mendapat perhatian  dan pemikiran serius di kalangan Ulama’ dan Ilmuwan  Islam, tetapi aktual karena hampir setiap tahun, khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, permasalahan ini sering menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Pangkal permasalahannya sebenarnya berawal dari adanya perbedaan dalam memahami&menafsirkan makna ”rukyat” pada hadits yang memerintahkan memulai puasa, yaitu ” Shuumuu liru’yatihi wa aftiruu li ru’yatihi...”  ”Berpuasalah kalian karena telah melihat/merukyat (hilal), dan berbukalah kalian karena telah melihat/merukyat (hilal)”
Sebagian kaum muslimin ada yang memahami makna kata ”rukyat” pada hadits tersebut secara tekstual, yakni dengan melihat/merukyat ”BIL ’AINY/BIL FI’LY  atau melihat dengan mata telanjang secara langsung, dan ini yang dilaksanakan pada periode Nabi masih hidup, sesuai dengan kondisi pengetahuan dan kemampuan teknologi pada saat itu. Sementara di pihak lain, banyak pula kaum muslimin yang memahami perintah ”rukyat” dalam hadits tersebut secara kontekstual, yaitu ”rukyat  BIL IJTIHADY” , dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dalam pelaksanaannya diwujudkan berupa ”ilmu hisab” atau ilmu falaq.
Kelompok hisab ini beralasan pada digunakannya kata ”rukyat” pada hampir sebagian besar ayat ayat Alqur’an, memiliki makna lebih pada ”pengetahuan, pemikiran, atau pemahaman dan pendapat”. Sebagaimana misalnya pada ayat yang menceritakan ketika Nabi Ibrahim bertanya kepada putranya meminta pertimbangan tentang mimpinya, kepada Ismail : ” Ya..bunayya inniy aro fil manaamiy anniy azbahuka, fandzur maadza TARO...”
Terlebih lagi, perkembangan ilmu dan teknologi terutama di bidang astronomi telah menghasilkan rumus rumus matematika astronomi yang semakin hari semakin canggih dan akurat dan selalu disempurnakan, yang semua itu diperoleh melalui pengamatan dan penelitian ilmiah ribuan kali, yang sistematis, terhadap peredaran benda benda langit (matahari, bumi, bulan, dll) yang semuanya: pergerakan,peredaran atau perputaran dan posisinya sangat teratur, konstan, dan pasti sepanjang waktu sejak dahulu sampai kapanpun sesuai sunnatullah.  Sehingga, kalau mau jujur, kita bisa menyimpulkan pula bahwa justru sebenarnya pengamatan dan penelitian ilmiah astronomi itu tidak lain justru merupakan rukyat yang sebenar-benarnya. Lebih dari itu, ilmu hisab/astronomi  sesungguhnya juga merupakan peng-aplikasi-an dari banyak ayat dalam Al Qur’an yang menerangkan keteraturan sunnatullah terhadap peredaran matahari, bumi, bulan dan semua benda antariksa. Seperti misalnya  pada QS. 55 Ar Rahman (5) : ” Assyamsyu wal qomaru bihusbaan”...
QS  Yaasin: ”Wa syamsyu tajri li mustaqorillahaa, dzalika taqdiirul ’aziizil ’aliim”  juga pada QS 10 Yunus (5) : ” Huwa alladzi ja’alassyamsya dhiya’an wal qomara nuuron wa qoddarohu manaazila lita’lamuu ’adadassiniina wal hisab...”
Dan masih banyak lagi ayat2 yang menerangkan tentang peredaran benda2 ruang angkasa.
Ayat-ayat tersebut memberikan gambaran bahwa gerak matahari, bumi, bulan dan semua benda antariksa sangat teratur sesuai sunnatullah, dan konstan selamanya, sehingga dapat diperhitungkan, yang akhirnya dapat diciptakan rumus rumus peredarannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa ilmu hisab itu juga memiliki otoritas dan keabsahan dalam syari’at Islam.
Berkaitan dengan idul Fithry yang sebentar lagi akan kita laksanakan, maka secara ilmu hisab sudah bisa diketahui jauh sebelum harinya: berapa ketinggian bulan dan  dimana posisi bulan saat akhir ramadhan. Bagi Saudara2 kita yang menggunakan metode kitab2 klasik, seperti : Sullamun Nayyiroin, Fathurro’uf fil mannan, khulashah wafiyah, Badi’atul Mitsal, Muntahal aqwal, nurul anwar,  dll, maka tinggi hilal pada akhir ramadhan besok hari Senin 29 agustus 2011 sudah diatas 2 derajat, dan menurut kesepakatan, bila hilal sudah diatas 2 derajat, maka sudah dianggap imkanurrukyat atau sudah memungkinkan untuk bisa dirukyat, sehingga kemungkinan mereka akan berhari raya idul fithry pada hari Selasa 30 Agustus 2011.  tetapi bagi Saudara2 kita yang menggunakan kitab2 baru/metode kontemporer, seperti : Hisab haqiqi, Ephemeris, new comb,almanak nautika, tsamaratul fikr, accurate time, cyber sky dll, maka ketinggian hilal pada akhir ramadhan nanti masih dibawah 2 derajat atau belum memungkinkan untuk dirukyat. Sehingga kelompok ini akan menggenapkan ramadhan atau Istikmal  menjadi 30 hari, dan berhari raya pada hari Rabu 31 Agustus 2011.
......................................
Diantara para ahli hisab sendiri sebenarnya juga terjadi perbedaan, apalagi bila disandingkan dengan yang berpegang teguh mewajibkan ”rukyat bil ’ainy/ rukyat bil fi’ly”. Sebab meskipun ketinggian hilal sudah diatas 3 derajat, namun untuk di negara yang berklim tropis seperti Indonesia ini, yang sering terjadi mendung atau awan, apalagi diperparah dengan polusi udara akibat asap industri dan kendaraan serta pembakaran hutan, maka meskipun posisinya dianggap sudah imkanurrukyat tetapi akan sangat sulit dalam prakteknya di lapangan untuk bisa berhasil merukyat.
Sebenarnya, pada prakteknya di lapangan sekarang , yang menggunakan ”rukyat bil ”ain atau rakyat bil fi’ly” ini secara murni sudah tidak ada. Karena untuk bisa merukyat harus dipandu ilmu hisab untuk mengetahui kapan saat merukyat, posisi hilal dan posisi matahari, serta ketinggian hilal. Sehingga, apabila ada orang yang mengaku melihat hilal, maka akan di-uji pengakuannya itu berdasarkan ilmu hisab. Dan apabila tidak sesuai dengan ilmu hisab, maka pengakuannya akan dianggap batal, karena tidak akurat, palsu atau bohong.
........................
Kalau kita konsisten, sebenarnya kewajiban merukyat hilal ini tidak hanya dilakukan untuk memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan atau puasa dan  idul fithry, serta awal bulan Dzulhijjah atau idul qurban saja, tetapi harus juga untuk setiap akan  mengawali bulan qamariyah/hijriyah. Karena sesungguhnya kalau kita mau mencermati, sebenarnya kejadian adanya perbedaan memulai bulan qomariyah ini bisa terjadi lebih dari sekali  dalam satu tahun,  hanya saja hal ini  dibesar-besarkan bila berkaitan terutama dengan Idul Fithry dan Idul Adha saja.
Dan untuk tahun tahun ke depanpun potensi adanya perbedaan juga pasti akan terjadi lagi. Dan hal ini sudah bisa diketahui secara ilmu hisab.


1431 H
Ramadhan  2° 16’
Dzulhijjah 1° 9’ (beda)

1432 H
Ramadhan  6° 36’
Syawal 1° 35’ (beda)
Dzulhijjah 6° 15’

1433 H
Ramadhan  1° 25’  (beda)
Syawal  -5° 26’  (istikmal)
Dzulhijjah  -2° 41’ (Istikmal)

1434 H
Ramadhan  0° 24’  (beda)
Syawal  3° 36’
Dzulhijjah  3° 1’

1435 H
Ramadhan  0° 22’  (beda)
Syawal  3° 25’
Dzulhijjah  0° 22’  (beda)

1436 H
Ramadhan   (sama)
Syawal  2° 50’”
Dzulhijjah  0° 19’  (beda)

Dengan memperhatikan data data bahwa tiap tahun pasti akan ada perbedaan, sehingga seharusnyalah kita semakin hari semakin dewasa menyikapi adanya perbedaan itu. Dan tidak perlu dibesar besarkan atau bahkan dikesankan terjadi permusuhan. Marilah kita tingkatkan semangat toleransi kita untuk menjunjung tinggi persatuan dalam perbedaan dan berbeda dalam kesatuan.
                                   


                                                                                  Email/Fb :     arifkua@gmail.com
                                                                                   031-71778030

0 komentar:

Posting Komentar

 

galery

waktu sholat

Sociality

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail